Singgah di
Tangerang kali ini Travelista sempatkan mengunjungi Flying Deck untuk melihat aktivitas
masyarakat Tangerang di Sungai Cisadane. Sebuah sungai kuno yang melekat dengan
identitas kota Tangerang.
Dari
Cisadane Flying Deck, Travelista terus menyusuri jalan Kalipasir. Travelista
tertarik untuk mendekati sekelompok anak – anak yang sedang asik memancing di
tepi maupun perahu di tengah sungai. Trevelista pun menuruni anak tangga untuk
melihat dari bantaran sungai yang teduh.
Rupanya di bantaran sungai ini terdapat sebuah altar persembahyangan yang disebut oleh warga sebagai Toa Pekong Air. Seketika Travelista teringat pada altar serupa saat piknik di pasar Pagi Asemka yang sama - sama terletak di tepi sungai. Konon Toa Pekong Air ini dibangun pada tahun 1800an bersamaan dengan dermaga untuk mengaitkan tali perahu warga dari luar benteng yang hendak beribadah di klenteng Boen Tek Bio maupun masjid jami Kalipasir.
Terus
menyusuri jalan hingga perjalanan Travelista terhenti di kampung sejarah Kalipasir.
Dengan icon bangunan masjid tua yang didirikan oleh Tumenggung Pamit Wijaya pada
tahun 1700 saat singgah di Tangerang ketika hendak berdakwah ke Banten.
Konon pembangunan
masjid bergaya Arab, China dan Eropa ini dilakukan oleh warga muslim yang dibantu
oleh warga Tionghoa yang sudah lama mendiami kampung Kalipasir.
Awalnya
bangunan masjid sangat sederhana, namun seiring dengan banyaknya
warga muslim yang melintas di sungai Cisadane singgah untuk menunaikan sholat. Maka
masjid jami Kalipasir beberapa kali dilakukan renovasi dan perluasan.
Di
dapan mihrab masjid terdapat komplek makam tua di antaranya adalah makam Ratu Siti
Uria Negara istri sultan Ageng Tirtayasa dan Raden
Achjad Pena yang merupakan Bupati Tangerang ketiga yang memerintah di awal kemerdekaan
Indonesia.
Photo by : Abdurrahman |
Kini
masjid tua Kalipasir dihimpit oleh pemukiman padat. Nampak beberapa bagian
tambahan akibat renovasi yang lakukan berkali kali namun bagian menara
masjid yang mirip pagoda dan soko guru dari kayu jati tetap mempertahankan
bentuk aslinya walau sudah disanggah dengan tiang besi.
Dari
masjid jami Kalipasir perjalanan Travelista teruskan menyusuri gang masjid
hingga tembus di jalan Bhakti. Di sini Travelista mengunjungi klenteng Boen Tek
Bio yang didedikasikan untuk menghormati Dewi Kwan Im.
Klenteng
Boen Tek Bio dibangun pada tahun 1684 seiring dengan pesatnya perkembangan pecinan Tangerang yang dihuni etnis Tionghoa atau dikenal sebagai Cina Benteng.
Nama
Boen Tek Bio berasal dari bahasa Hokkian yaitu Boen berarti intelektual, Tek
berarti kebajikan dan Bio berarti tempat ibadah. Sehingga Boen Tek Bio berarti
tempat ibadah untuk menjadi insan yang penuh kebajikan dan intelek.
Di bagian depan klenteng, Sobat Piknik dapat melihat sepasang Cioh Sai atau singa batu sumbangan dari Tiongkok pada tahun 1827 dan pagoda pembakaran kertas sembahyang bercat merah yang mengapit tempat menancapkan hio atau dupa berwarna emas yang ditujukan bagi Dewa Langit.
Di
sudut klenteng terdapat sebuah lonceng perunggu buatan tahun 1835 yang diberi nama
Wende Miao yang merupakan sumbangan pedagang Tiongkok saat singgah di Tangerang.
Walau
berada di kota Tangerang yang cukup terik. Udara di klenteng Boen Tek Bio cukup
teduh. Selain atap genteng tanah liat dan luas pintu serta jendela. Koleksi
bonsai di samping klenteng pun menjadi penyebab teduhnya udara di area klenteng.
Di
dalam klenteng terdapat altar Sam Kwan Tay Thee atau penguasa tiga alam yaitu
langit, bumi dan air yaitu Kwan Im, Cha Lam Ya, dan Kwan Kong yang di puja
Sobat Piknik penganut ajaran Tri Dharma.
Menggunakan
referensi foto udara milik jurnalis kompas Pak Agus Susanto. Rupaya ketiga tempat ibadah tertua Tangerang ini letaknya
sangat berdekatan yang membuktikan kerukunan antar umat beragama sudah tertanam
sejak dulu kala.
Photo by : Agus Susanto / kompas.com |
Setelah
menyusuri jejak sejarah tempat ibadah tertua. Piknik Trevelista tutup dengan makan
es podeng yang mangkal dengan gerobak di depan Toko Varia Pasar Lama.
Minuman
tradisional dengan campuran serutan es, biji mutiara, alpukat, kacang hijau, potongan
roti tawar yang dikucuri susu cokelat kental manis membuat es podeng yang satu
ini JUARA !!!
Selesai sudah
piknik kali ini. Sampai jumpa di piknik selanjutnya...
Pesan moral :
Piknik
menyusuri tempat ibadah tertua Tangerang membuat Travelista merenung sejenak. Bahwasanya
kerukunan antar umat beragama sudah tertanam sejak dulu kala. Rumah ibadah yang
letaknya sangat berdekatan tidak menggoyahkan iman seseorang. Karena menurut
Travelista, hakikat ibadah adalah yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui doa dan mengamalkannya dengan menjaga tingkah laku serta ucap terhadap sesama makhluk. Travelista berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga tidak ada
lagi aksi intoleran terhadap umat beragama di negeri yang berbhineka tunggal
ika. #Indonesia.
Komentar
Posting Komentar