Dari makam
Sunan Kalijaga di Kadilangu, Trevalista lanjutkan ke masjid
Agung Demak yang berjarak sekitar dua kilometer sambil
menunggu waktu maghrib di kota Wali. Disebut sebagai kota Wali karena dulunya
Demak adalah tempat rapat Wali Songo saat akan menyebarkan ajaran islam di
pulau Jawa.
Masjid
yang terletak persis di barat alun - alun kabupaten Demak merupakan masjid tua
bersejarah yang didirikan oleh Wali Songo sebagai pusat penyebaran agama Islam
di tanah Jawa. Kini menjadi salah satu tujuan wisata religi ikonik di pulau
Jawa banyak menyedot Sobat Piknik datang berbagai penjuru daerah.
Konon
masjid Agung Demak didirikan oleh Wali Songo pada tahun 1401 Saka. Hal ini berdasarkan
penafsiran Candra Sengkala bergambar bulus yang terdapat di dinding mihrab masjid.
Dalam bahasa Jawa, Candra Sengkala merupakan gabungan kata Candra yang artinya
sebutan atau nama dan kata Sangkala yang artinya hitungan tahun. Dengan
demikian Candra Sengkala adalah sebutan atau nama hitungan tahun. Dan gambar
bulus diartikan dengan kepala bulus berarti angka satu, kaki berarti angka
empat, badan berarti angka nol dan ekor bulus berarti angka satu. Sehingga ditafsirkan
menjadi angka 1401 yang diyakini sebagai tahun didirikannya masjid Agung Demak.
Bentuk
bangunan masjid Agung Demak diduga merupakan tonggak arsitektur bangunan masjid
Nusantara dengan ciri khas atap limas bersusun tiga yang menggambarkan tiga
tingkatan penting dalam beragama yaitu iman, Islam dan ihsan. Masjid Agung
Demak berbentuk joglo dengan serambi mirip pendopo yang memiliki lima buah
pintu melambangkan rukun Islam dan emam jendela yang melambangkan rukun iman.
Photo by : Kopi Lawoek |
Di
dalam masjid, Sobat Piknik akan mendapati soko guru peninggalan para Wali. Ke empat soko guru tersebut merupakan sumbangan empat
anggota Wali Songo yaitu Sunan Ampel dari Surabaya, Sunan Bonang dari Tuban,
Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Sunan Kalijaga dari Kadilangu Demak. Berjumlah
empat melambangkan pedoman hidup umat seorang muslim yaitu Al qur’an, hadis, ijma’
dan qiyas serta memiliki tinggi 17 meter yang melambangkan jumlah rokaat sholat
dalam sehari semalam.
Di
antara soko guru yang ada. Soko guru Sunan Kalijaga memiliki tampilan berbeda.
Konon saat masjid pembangunan masjid hampir rampung, soko guru kurang satu
sehingga Sunan Kalijaga mengumpulkan tatal atau serpihan kayu yang dipasak dan
diikat menjadi batang tiang besar dengan menggunakan perekat damar. Setelah
kokoh maka ikatannya dilepas dan teksturnya dihaluskan sehingga disebut sebagai
soko tatal seperti yang Sobat Piknik lihat saat ini di masjid Agung Demak.
Di halaman
masjid Agung Demak juga terdapat peninggalan sejarah yang Sobat Piknik lihat berupa
kolam yang dulu digunakan untuk berwudhu atau mencuci
kaki sebelum masuk ke masjid. Konon juga di kolam wudhu ini pernah dijadikan
tempat sayembara untuk menentukan sultan ke empat di Demak pada masa jeda pemimpin
setelah sultan Trenggono wafat dan Sunan Prawoto atau Sunan Bagus Mukmin sebagai
pejabat sementara menolak untuk dinobatkan secara resmi karena memilih jalur kesufiannya
untuk medekat kepada Sang pencipta sehingga kepemimpinan diserahkan kepada
adiknya yaitu ratu Kalinyamat yang merupakan istri Adipati Jepara pangeran
Hadiri dari kesultanan Sumenep.
Wali
Songo sepakat agar pemerintahan kesultanan Demak harus seorang sultan yang ditunjuk
secara sah. Maka untuk menghindari adu kekuatan fisik maka akan timbul pertumpahan
darah. Wali Songo membuat sayembara yaitu “Siapa yang bisa meloncati kolam
wudhu ini dengan pegang tombak secara mundur, maka dia akan dinobatkan sebagai sultan
Demak”.
Konon
sayembara tidak hanya diikuti oleh keluarga besar sultan saja tetapi juga
rakyat jelata. Karena menurut Wali Songo yang dapat melakukannya hanyalah seorang
yang memiliki ilmu tinggi. Dan ternyata yang bisa melakukan lompatan mundur
dengan memegang tombak hanyalah Jaka Tingkir yang kemudian dinobatkan sebagai
sultan ke empat di kesultanan Demak dengan gelar sultan Hadiwijoyo.
Di
bagian depan masjid Agung Demak, Sobat Piknik juga dapat mengamati menara mengumandangkan
adzan yang terbuat dari besi baja siku setinggi 22 meter yang dibangun pada 2
Agustus 1932 pada masa pemerintahan bupati Demak RAA Sosrohadiwidjojo yang
cukup kontras dengan arsitektur masjid Jawa kuno dengan atap limasan. Di arsiteki
oleh perusahaan N.V Lyndetives asal Semarang. Konon menara baja tersebut menelan
biaya sekitar 10.000 gulden.
Di
sekitar masjid Agung Demak juga terdapat sebuah museum yang menyimpan benda - benda
yang berkaitan dengan sejarah masjid yang dapat Sobat Piknik kunjungi setiap
hari dari jam 08.00 dan tutup jam 16.00 tanpa dipungut biaya.
Di dalamnya
Sobat Piknik dapat melihat koleksi sejarah di antaranya bagian
soko guru yang rusak, sirap, bedug dan kentongan peninggalan para wali yang
dipakai sebagai alat pertanda datangnya waktu shalat. Ada
juga hiasan lampu peninggalan Paku Buwono ke satu, lampu robyong masjid Demak
yang dipakai tahun 1923 – 1936 masehi, maket masjid tahun 1845 – 1864 masehi,
Al Qur’an tulisan tangan, gentong dari dinasti Ming dan foto - foto masjid
Agung Demak tempo dulu.
Photo by : Kang Ajif |
Photo by : Wahid Anwar |
Photo by : Arvia Ari Sugesti |
Dan
Koleksi yang paling menarik untuk Sobat Piknik amati saat berkunjung museum masjid
Agung Demak adalah bekas pintu masuk masjid yang dijuluki sebagai pintu bledeg.
Sebuah pintu jati bermotif ukiran sulur tumbuhan, mahkota dan kepala naga
dengan mulut terbuka menampakkan gigi runcing yang dibuat Ki Ageng Selo pada
tahun 1466 masehi. Konon kepala naga tersebut merupakan petir yang ditangkap oleh
Ki Ageng Selo yang dikenal memiliki kekuatan supranatural menangkap petir.
Photo by : Wahid Anwar |
Dari
museum, Travelista berjalan menuju makam raden Patah dari sisi timur masjid. Travelista
melintasi sebuah gentong berusia tua berwarna coklat kehitaman berbentuk bulat
besar tanpa ukiran atau pun motif. Gentong yang dinamai Kong konon berasal dari
Tiongkok yang dibawa oleh putri Campa ibu raden Patah. Kini gentong Kong
digunakan sebagai tempayan untuk menyimpan air yang dapat Sobat Piknik minum
dengan gelas plastik yang disediakan pengurus masjid.
Di
bagian belakang masjid Agung Demak terdapat makam sultan Demak yang dapat Sobat
Piknik ziarahi di antaranya adalah makam raden Patah yang merupakan sultan
pertama kesultanan Demak. Adipati Unus yang merupakan putra raden Patah dengan
Syarifah Asyiqah yang merupakan putri bungsu Sunan Ampel yang wafat saat
penyerbuan portugis di Malaka sehingga dijuluki sebagai pangeran Sabrang Lor, pangeran
Sekar Sedo Lepen, Pangeran Mekah, Pangeran Ketib, dan raden Kusen yang
merupakan adik tiri raden Patah.
Menurut
babad tanah Jawi. Jin Bun atau raden Patah
adalah putra Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi raja terakhir Majapahit dari
seorang selir Tionghoa yang bernama Siu Ban Ci merupakan putri dari pasangan Siu
Te Yo dan Tan Go Hwat atau Kyai Batong seorang saudagar dari Gresik. Namun karena
permaisuri Dwarawati cemburu dengan selir dari Campa maka Bhre Kertabhumi
terpaksa memberikan selir kepada Swna Liong atau Arya Damar adipati Palembang
yang menjadi ayah tiri raden Patah. Pernikahan ibu raden Patah dengan Arya
Damar dikaruniai putra yang bernama Husain atau raden Kusen.
Setidaknya
terdapat dua versi tentang sejarah raden Patah menjadi sultan Demak. Pertama menurut
babad tanah Jawi, raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi adipati
Palembang dan memilih pergi ke pulau Jawa ditemani saudara tirinya raden Kusen
untuk berguru ke Sunan Ampel di Surabaya.
Raden
Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit sedangkan raden Patah pindah ke Jawa
Tengah membuka hutan Glagahwangi untuk mendirikan sebuah pesantren. Nama Patah sendiri berasal dari kata Al Fatah
berarti Sang Pembuka.
Semakin lama pesantren Glagahwangi semakin maju.
Brawijaya V khawatir kalau raden Patah kelak akan memberontak kepada Majapahit.
Maka raja Brawijaya V memerintahkan raden Kusen yang sudah diangkat menjadi adipati
Terung untuk meminta raden Patah menghadap ke raja Brawijaya V yang merasa
terkesan dan akhirnya mau mengakui raden Patah sebagai putranya dan
menjadikannya sebagai adipati Glagahwangi yang kemudian berganti nama menjadi
Demak yang beribukota di Bintoro.
Versi
kedua menurut kronik Tiongkok, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak pada tahun
1475 dan menaklukan beberapa wilayah sekitarnya yang membuat Kung ta bu mi atau
Bhre Kertabhumi sebagai raja Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi
Hoo atau Sunan Ampel, Kung ta bu mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anaknya
dan mengakatnya sebagai adipati Bing to lo dalam ejaan Tionghoa untuk menyebut
daerah Bintoro.
Semakin
besar pengaruh islam di Demak maka konflik dengan pengaruh hindu Majapahit tidak
dapat dihindarkan. Namun menurut babad tanah Jawi dan Serat Kanda. Sunan Ampel selaku
guru melarang raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda
agama Brawijaya tetaplah ayah raden Patah.
Namun
setelah Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel wafat, raden Patah menggempur ibu kota
Majapahit yang membuat Kung ta bu mi atau Bhre Kertabhumi moksa dan untuk
menetralisasi pengaruh agama lama maka Sunan Giri menduduki takhta Majapahit
selama 40 hari dan diteruskan oleh seorang Tionghoa muslim bernama Nyoo Lay Wa
sebagai adipati. Namun pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa wafat karena pemberontakan
kaum pribumi sehingga Jin Bun mengangkat Pa bu ta la yang merupakan menantu Kung
ta bu mi sebagai adipati baru.
Raden
Patah akhirnya menjadi sultan Demak pertama dengan gelar panembahan Jimbun. Pada
tahun 1479 raden Patah meresmikan masjid Agung sebagi pusat pemerintahan kesultanan
Demak dan memperkenalkan Salokantara sebagai kitab undang - undang kesultanan.
Raden
Patah sangat toleran terhadap pemeluk agama lain. Kuil Sam Po Kong di Semarang
tidak dikembali menjadi masjid sebagaimana awal didirikan oleh laksamana Cheng
Ho yang beragama Islam. Raden
Patah wafat pada tahun 1518 masehi dan kedudukannya digantikan oleh putranya
yang bernama Pati Unus yang memimpin perlawanan terhadap portugis di Malaka.
Photo by : Aris Hadiansyah |
Photo by : Ahmad Muhtarom |
Selesai sudah
piknik kali ini. Sampai jumpa di piknik selanjutnya...
Pesan moral :
Raden
Patah mengajarkan kita akan pentingnya nasihat ulama dalam memerintah sebuah
negara. Kolaborasi Umaro dan Ulama membuat ajaran Islam berjaya di jaman Hindu Budha
yang membudaya.
Komentar
Posting Komentar