Dari makam
Sunan Muria Travelista lanjutkan mengunjungi masjid Menara Kudus untuk
berziarah makam Sunan Kudus yang merupakan sepupu Sunan Muria. Mobil Travelista
parkir di depan taman Menara Kudus lalu Travelista teruskan berjalan kaki
menuju masjid.
Photo by : Tethaa Wiidya |
Sunan
Kudus atau Ja'far Shadiq menggantikan jabatan ayahnya sebagai Senopati untuk
memperluas wilayah kekuasaan kesultanan Demak. Ja'far Shadiq juga diangkat menjadi imam besar masjid Agung Demak serta hakim
kesultanan karena ahli ilmu fikih, tauhid, hadist dan tafsir sehingga dijuluki
sebagai waliyyul ilmi pada masa pemerintahan sultan Trenggono.
Namun
ketika terjadi perebutan kekuasaan di kesultanan Demak, Ja'far Shadiq hijrah ke
daerah Tajug yang kemudian berganti nama menjadi Kudus untuk berdakwah. Disebut
Tajug karena di daerah tersebut terdapat banyak tajug yang merupakan bentuk
atap arsitektur tradisional rumah umat Hindu.
Sesampainya di Tajug Ja'far Shadiq tidak langsung melarang acara kebudayaan masyarakat yang masih menganut agama Hindu, Buddha dan animisme, melainkan merangkulnya. Berkat kharisma dan keluwesan pergaulannya, Ja'far Shadiq mendapat simpati dari masyarakat dan diperkenankan untuk mengganti nama Tajug menjadi Kudus yang berasal dari kata Al Quds yang merupakan nama kota suci di Yerusalem yang konon merupakan kota kelahiran Ja'far Shadiq. Sejak itulah Ja'far Shadiq dijuluki sebagai Sunan Kudus.
Sunan
Kudus berdakwah melalui akulturasi budaya agar bisa diterima masyarakat
setempat yang mayoritas beragama Hindu dan Budha. Sunan Kudus mendirikan masjid
dengan arsitektur yang serupa candi pada tahun 1549 untuk menarik rasa ingin
tahu masyrakat Kudus tentang ajaran Islam.
Bangunan
menara masjid dibangun menyerupai candi Jago beraliran agama Budha Tatrayana
peninggalan kerajaan Singasari di Kabupaten Malang yang didirikan sekitar abad
ke 13 oleh Raja Wisnuwardhana dan struktur atap meru atau tumpang bersusun tiga
dan mustaka di puncak menara yang juga identik dengan candi Hindu.
Source : Collectietropenmuseum.nl |
Pintu
gerbang masjid Menara Kudus juga di desain menyerupai candi pada gapura Betar
atau gapura kembar tanpa atap serta gapura Paduraksa atau gapura dengan atap
pelindung yang dijuluki sebagai pintu Rajah Kalacakra.
Konon pada gapura ini terdapat
mitos bagi pejabat yang melintasinya akan kehilangan kekuasaan yang dimiliki.
Hmmm… Jadi ingin coba melintasinya karena Travelista kan, bukan pejabat. Hehehe…
Perlu
Sobat Piknik ketahui bahwa Rajah Kalacakra adalah ajian jawa kuno yang ditulis
pada media kertas, kulit kijang ataupun badan dengan menggunakan tinta, minyak
atau bahkan darah. Jika diterjemahkan kata Rajah berarti mantra, Kala berarti
jahat atau sial sedangkan Cakra adalah senjata yang dipakai oleh Batara Kresna
untuk memusnahkan kejahatan. Sehingga makna Rajah Kalacakra adalah mantra yang
dipakai untuk menghadirkan keapesan bagi orang jahat.
Mitos pintu
Rajah Kalacakra berkaitan dengan konflik perebutan kekuasan di kesultanan Demak
ketika Hadiwijaya menantu Trenggono sultan ketiga kesultanan Demak menyatakan
diri sebagai raja dan memindahkan kekuasaan ke Pajang yang mendapat perlawanan
dari Arya Penangsang putra mahkota sultan Trenggono.
Keduanya berusaha
berebut simpati Sunan Kudus. Sehingga Sunan Kudus menanam Rajah Kalacakra di
bagian pintu gerbang masjid untuk melemahkan kekuatan orang yang berniat jahat.
Namun rupanya Hadiwijaya tidak terkecoh karena memilih melewati pintu lain saat
menghadap Sunan Kudus ketimbang melewati pintu depan. Namun Arya Penangsang
yang melewati pintu depan dan akhirnya celaka. Benarkah hal ini yang
membuat pejabat jarang berkunjung ke masjid Menara Demak ? Hmmm… Biarlah waktu yang
menjawab ya Sobat Piknik !
Source : Collectietropenmuseum.nl |
Sunan
Kudus pun mengadopsi Asta Sanghika Marga atau Jalan berlipat delapan yang
menjadi pegangan masyarakat penganut ajaran Budha yang diwujudkan dalam delapan
pancuran air tempat wudhu yang dihiasi relief arca. Di mana seseorang harus :
- Memiliki pengetahuan yang benar.
- Mengambil keputusan yang benar.
- Berkata yang benar.
- Berbuat yang benar.
- Hidup dengan cara yang benar.
- Bekerja dengan benar.
- Beribadah dengan benar.
- Menghayati agama dengan benar.
Hmmm…
Menarik ya Sobat Piknik akan nilai - nilai yang tersirat pada simbolis yang ada
di masjid Menara Kudus ?!
Pada
bagian teras dan ruang tengah masjid. Sobat Piknik akan mendapati bangunan yang
serupa dengan relung candi agama Hindu dan Budha. Bedanya jika di relung candi
terdapat stupa. Sedangkan relung di masjid Manara dibiarkan kosong agar tidak
bertentangan dangan ajaran agama Islam.
Photo by : Herwanto
Sulistyo Budi |
Dalam
menyebarkan agama Islam. Sunan Kudus menggunakan empat akulturasi budaya yaitu
:
- Membiarkan adat istiadat yang ada di masyarakat mengalir dan mengubahnya secara perlahan.
- Memasukkan unsur Islam pada setiap ritual masyarakat Kajawen seperti tradisi selamatan.
- Membuat masjid dengan arsitektur candi untuk menarik perhatian umat Hindu dan Budha.
- Memerintahkan tidak menyembelih sapi untuk acara selamatan demi menghormati umat Hindu dan digantikan dengan kerbau.
Setelah
takjub dengan nilai simbolis di bagian depan masjid. Travelista memasuki lorong
dan pintu yang kental dengan candi untuk berziarah ke makam Sunan Kudus yang
terdapat di bagian belakang masjid.
Photo by : Domu Domu |
Photo by : Domu Domu |
Setelah beberapa
tahun berdakwah. Sunan Kudus wafat saat menjadi imam sholat Subuh di masjid
yang didirikannya. Pemakaman tua ini merupakan makam anggota kerajaan Majapahit,
kesultanan Demak, wali beserta keluarga dan para santrinya yang dibagi menjadi
beberapa blok makam.
Di
dalam cungkup berderet makam para pangeran mengelilingi makam sang Waliyul
Ilmi. Sobat Piknik yang berziarah nampak khusyuk berdzikir dan membaca ayat
suci dalam tahlil yang ditujukan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala di sekeliling
makam Sunan Kudus yang diselimuti kelambu putih.
Photo by : Bima Widiatiaga |
Selesai bertawasul
Travelista kembali taman menara Kudus. Travelista menyusuri jalan Madurekso
untuk mencari oleh - oleh khas Kudus yang dapat dibawa pulang di antaranya
Jenang Kudus. Madu Mongso, Keciput, Kacang Bawang Sumber Gelis, Rengginang,
Kopi Jetak dan Intip ketan.
Di
ujung jalan Madurekso. Travelista mendapati sebuah kelenteng bernama Hok Ling
Bio yang merupakan klenteng agama konghuchu tertua di Kudus yang diperkirakan
sudah ada sekitar abad XV masehi atau lebih tua dari masjid Menara Kudus. Dengan
lestarinya klenteng Hok Ling Bio menjadi bukti toleransi antar umat di sekitar
kawasan kauman Kudus. #JUARA!!!
Selesai sudah
piknik kali ini. Sampai jumpa di piknik selanjutnya...
Pesan moral :
- Masjid Menara Kudus adalah rangkuman simbol nilai kebaikan agama yang ditampilkan dalam wujud arsitektur bangunan. Dari masjid Menara Kudus Travelista menyaksikan bahwa simbol yang tertanam bukan hanya panjangan tetapi diterapkan dengan aksi toleransi antar umat beragama di sekitar masjid.
- Di gerbang Rajah Kalacakra yang penuh mitos, mengingatkan Travelista bahwa kekuasaan di dunia hanya bersifat semu dan sementara. Sehingga amanah yang diemban harus dijaga karena akan Kita pertanggungjawabkan kepada pemilik Kekuasaan yang abadi.
Komentar
Posting Komentar