Dari masjid Menara Kudus perjalanan Travelista teruskan
ke masjid Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak. Setibanya
di Kadilangu, Travelista langsung menunaikan sholat Ashar di langgar atau
musolah yang dibangun oleh Sunan Kalijaga sebelum masjid Agung Demak berdiri.
Konon arsitektur
masjid Agung Demak diilhami oleh bentuk joglo langgar yang didirikan oleh
Sunan Kalijaga dengan atap limasan bersusun tiga yang melambangkan iman, Islam dan ihsan serta empat pilar kayu jati sebagai soko guru.
Seiring
bertambahnya jamaah pada tahun 1564, Pangeran Wijil yang juga diyakini sebagai
putra Sunan Kalijaga merenenovasi langgar menjadi masjid. Dan pada
tahun 1970 dilakukan renovasi total namun tetap memepertahankan bangunan asli
yang berukuran 10 x 16 meter persegi dengan soko guru masjid yang masih dapat Sobat
Piknik lihat di bagian dalam bangunan masjid.
Masjid sunan kalijaga tahun 1910 Source : universiteitleiden.nl |
Photo by : Eko Pujiono |
Setelah
menunaikan sholat Ashar, Travelista teruskan berziarah ke makam Sunan Kalijaga
yang terletak di sebelah barat laut masjid. Melintasi kedai UMKM yang
menjajakan penganan dan aksesoris khas Demak yang dapat Sobat Piknik beli
sebagai oleh – oleh.
Sebelum
sampai ke makam Sunan Kalijaga, Sobat Piknik akan menjumpai sebuah batu yang
dikelilingi tembok setengah badan. Itulah Selo Palenggahanipun Sunan Kalijaga
atau batu tempat duduk Sunan Kalijaga memberikan wejangan kepada santri - santrinya.
Photo by : Badiatul Muchlisin Asti |
Konon
Sunan Kalijaga hidup di akhir masa kerajaan Majapahit hingga awal kehadiran kesultanan
Mataram di bawah kepimpinan panembahan Senopati. Dalam Babad Tanah Jawi
disebutkan bahwa Sunan Kalijaga pernah datang ke Mataram setelah pengangkatan panembahan
Senopati sultan Mataram.
Berdasarkan
Babad Tuban diceritakan Sunan Kalijaga orang jawa asli. Dikisahkan Aria Teja
berhasil mengislamkan adipati Tuban yang bernama Aria Dikara dan mengawini
putrinya. Dari perkawinan tersebut Aria Teja kemudian memiliki putra bernama
Aria Wilatikta yang merupakan ayah raden Joko Said yang kelak dikenal sebagai Sunan
Kalijaga. Hal ini juga diperkuat oleh catatan penjelajah portugis Tome Pires
yang menuliskan bahwa cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban adalah raden Joko
Said yang merupakan keturuan dari Ronggolawe pemberontak legendaris Majapahit
dari silsilah ibu.
Meskipun
seorang muslim, adipati Aria Wilatikta dikenal sangat kejam dan patuh kepada
pemerintah pusat Majapahit yang menganut agama Hindu. Ia menetapkan pajak
tinggi kepada rakyatnya sehingga raden Joko Said tidak setuju dengan kebijakan ayahnya
sehingga ia melakukan pembangkangan.
Puncaknya adalah saat raden Joko Said membongkar lumbung padi kadipaten
Tuban saat musim paceklik dan membagi - bagikannya kepada rakyat Tuban yang sedang
kelaparan. Karena tindakannya, raden Joko Said disidang oleh ayahnya untuk menanyakan
alasan dari perbuatannya. Raden Joko Said mengatakan bahwa alasannya membongkar
lumbung karena ajaran Islam melarang menumpuk makanan di lumbung kadipaten
sementara rakyatnya kelaparan. Karena dianggap menggurui tentang ilmu agama.
Maka diusirlah raden Joko Said dari istana kadipaten oleh ayahnya.
Setelah
keluar kadipaten Tuban. Raden Joko Said menjadi bromocorah yang ditakuti
dikawasan Jawa Timur. Namun raden Joko Said hanya merampok orang kaya yang
tidak mau berzakat dan bersedekah. Hasil rampokkannya dibagikan untuk orang
miskin. Sebab itulah raden Joko Said dijuliki Lokajaya artinya perampok
budiman.
Konon
di tengah hutan raden Joko Said bertemu seorang kakek tua bertongkat emas yang
dipercaya sebagai Sunan Bonang. Melihat tongkat emas membuat Lokajaya ingin
merampasnya namun tidak berhasil. Sang kakek menasihatinya “ bahwa Allah
Subhanahu Wata’ala tidak akan menerima amal yang buruk ”. Lalu sang kakek
menunjuk pohon aren dengan tongkatnya, seketika buah aren berubah menjadi emas
dan mengatakan “ Bila Raden ingin mendapatkan harta tanpa berusaha maka ambilah
buah aren emas tersebut !”. Namun upaya raden Joko Said untuk mengambil buah
aren emas selalu gagal.
Sejak
saat itulah raden Joko Said ingin bertobat dengan menyusul sang kakek ke sungai
dan menyatakan bahwa ia ingin menjadi muridnya ! Lalu sang kakek menyuruh raden Joko Said untuk
menjaga tongkat yang ditancapkannya di tepi sungai dan tidak diijinkan beranjak
dari tempat tersebut sebelum ia datang kembali.
Raden Joko
Said melaksanakan perintah dari sang kakek menjaga tongkatnya. Raden Joko Said bertapa
dalam waktu lama hingga tanpa disadari tubuhnya terlilit akar dan lumut hingga sang kakek datang dan membangunkannya. Kerena itulah namanya diganti menjadi
Kalijaga.
Namun
cerita pemberian gelar Kalijaga oleh Sunan Bonang banyak diragukan oleh para
sejarawan dan ulama karena tidak masuk akal dan bertentangan dengan ilmu
syariat. Namun ada pula yang meyakini bahwa sebutan Kalijaga bukanlah dalam
arti harafiah melainkan simbolis yang disandangkan kepada raden Joko Said untuk
menjaga aliran kepercayaan yang hidup di masyarakat.
Seperti
yang Sobat Piknik ketahui bahwa dalam berdakwah, Sunan Kalijaga memadukan unsur
kebudayaan yang ada pada saat itu dengan budaya islam. Pendekatan akulturasi
ini menjadi pendekatan yang paling sesuai dengan masyarakat Jawa sehingga
dakwahnya dapat diterima. Adapun pendekatan dan media yang dipakai oleh Sunan
Kalijaga adalah :
1. Seni
petunjukan Wayang.
Sebagai bekas pusat
kekuasaan politik Hindhu dan Budha. Pola pikir dan laku masyarakat Jawa Tengah
telah terpengaruh budaya Hindhu dan Budha. Melihat realitas bahwa wayang beber
dan wayang suket sebagai seni pertunjukan yang digemari masyarakat. Maka wayang
adalah media yang paling efektif untuk menarik simpati masyarakat terhadap
agama.
Sunan Kalijaga menciptakan
karakter wayang kulit dengan memasukkan simbol, lakon, filsafat keislaman untuk
dipertunjukkan tanpa memungut tarif melainkan cukup dengan mengucuapkan dua
kalimat syahadat sebagai tiket pertunjukan.
Konon Sunan Giri pernah
memberi nasihat kepada Sunan Kalijaga dalam menggunakan wayang sebagai media
dakwah tidak boleh bertentangan dengan peraturan dalam Islam. Sebab dalam
ajaran Islam melukis makhluk hidup ada batasan pelarangannya. Maka Sunan
Kalijaga memasrahkan pembuatan wayang kepada Sunan Giri karena dipercaya lebih
paham dengan batas larangan yang dimaksud. Sunan Giri membuat bentuk dasar wayang
surealis yang tampak seperti makhluk hidup tetapi tidak seperti wujud
semestinya atau karikatur seperti tangan wayang kulit yang dibuat panjang
sampai menyentuh kaki.
Versi lain menyebutkan
bahwa yang membantu pembuatan karakter dan tokoh wayang adalah Sunan Kudus.
Setelah Sunan Giri melihat wujud wayang kulit yang baru, tidak ada lagi komentar
atau larangan seperti sebelumnya.
Setelah bentuk wayang
sudah sesuai dengan kaidah Islam. Sunan Kalijaga sowan kepada Sunan Bonang
selaku guru beliau untuk mohon dibuatkan musik yang akan dijadikan bagian dari
dakwah. Maka dibuatlah musik khas wayang kulit berbunyi “ Nang ning nang
nong ndang ndang ndang gung ” Yang merupakan singkatan dari kalimat yaitu “Nang
kene entuk dadi opo wae. Nang kono entuk ngopo wae. Nanging aja lali ndang
baliyo nang Sang Hyang Agung”. Yang artinya orang itu bisa dan boleh saja
menjadi apa pun di manapun berada tetapi jangan lupa segera kembali kepada Sang
Yang Agung, Allah Subhanahu Wata’ala.
Dan konon pertunjukan wayang
kulit pertama digelar di pelataran masjid Agung Demak sebagai ijtihad kolektif
para wali songo untuk menyentuh kalbu penduduk Jawa agar memeluk agama Islam
dengan lakon carangan layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu.
2. Seni
batik surjan lurik yang kemudian identik sebagai pakaian adat Jawa
Tengah.
3. Seni
membatik dengan motif burung kukila merupakan gabungan dua kata bahasa
arab yaitu Quu dan Qiilla yang berarti peliharalah ucapanmu.
4. Seni
tembang jawa yang digubah dengan menyisipkan unsur
islami seperti Kidung Rumeksa ing Wengi, Lir ilir dan Gundul - gundul pacul.
5. Seni
sastra dalam suluk linglung dan serat Dewa Ruci yang
menggambarkan bagaimana umat Islam harus memegang teguh keislamannya mulai dari
syariat, hakikat hingga makrifat.
6. Seni
ukir tatal atau serpihan kayu yang Sunan Kalijaga aplikasikan
soko guru masjid Agung Cirebon dan masjid Agung Demak.
7. Seni
topeng yang Sunan Kalijaga modifikasi dengan menciptakan
sembilan topeng tokoh yaitu Panji Kesatriyan, Candarsih, Gunung Sari, Andogo,
Raton atau Raja, Klana, Danawa atau Raksasa, Renco atau Dhoyok dan Turas atau
Penthul yang digunakan sebagai media dakwah dengan lakon panji yang merupakan lakon
asli Jawa.
8. Seni
Gong Sekaten yang ditabuh pada perayaan Maulid Nabi di
halaman masjid Agung Demak berasal dari kata Syahadatain atau pengucapan dua
kalimat Syahadat.
9. Seni
Bedug yang ditabuh saat perayaan gunungan maulud.
10.Seni
lanskap pusat kota berupa kraton, alun - alun
dengan dua beringin serta masjid yang masih dapat Sobat Piknik temui di
beberapa pusat kota di Jawa Tengah.
Ajaran
Sunan Kalijaga dalam mengenalkan Islam terkesan sinkretis karena toleran tehadap aliran kepercayaan. Beliau berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang
pendiriannya. Maka harus didekati secara bertahap dengan cara mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami maka dengan
sendirinya kebiasaan lama akan hilang. #JUARA!!! Travelista harus belajar cara
yang kaya gini nih ! Hehehe…
Sunan
Kalijaga mengembara menyebarkan agama Islam sambil mendekati masyarakat dengan
cara yang ramah sehingga mampu berbaur tanpa menunjukkan sikap antipati
terhadap semua aliran kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi digauli
dengan rasa toleransi yang tinggi sehingga Sunan Kalijaga dikenal sebagai satu
- satunya walisongo yang paham segala pergerakan aliran kepercayaan yang hidup
di kalangan masyarakat karena pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang dilakukan adalah
:
- Momong yang berarti bersedia mengemong, mengasuh, membimbing dan mengarahkan.
- Momor yang berati bersedia bergaul, berbaur, berkawan dan bersahabat.
- Momot yang berarti kesediaan untuk menampung aspirasi dan inspirasi dari berbagai kalangan.
Sunan
Kalijaga juga mengajarkan kepada para santrinya tentang sepuluh prinsip hidup. Menurut
Travelista filosofi hidup yang beliau titipkan sangat adiluhung yaitu :
- Urip iku urup yang bermakna hidup hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.
- Memayu hayuning bawono. Ambrasto dur hangkoro yang bermakna manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
- Suro diro joyo jayaningrat. Lebur dening pangastuti yang bermakna segala sifat keras hati, picik, angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.
- Ngluruk tanpo bolo. Menang tanpo ngasorake. Sekti tanpo aji – aji. Sugih tanpa bondho yang bermakna berjuang tanpa perlu membawa masa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan. Kaya tanpa didasari kebendaan.
- Datan serik lamun ketaman. Datan susah lamun kelangan yang bermakna jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuat.
- Ojo gumunan. Ojo getunan. Ojo kagetan. Ojo aleman yang bermakna jangan mudah heran. Jangan mudah menyesal. Jangan mudah terkejut. Jangan manja.
- Ojo ketungkul marang kalungguhan. Kadonyan lan kemareman yang bermakna janganlah terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
- Ojo kuminter mundak keblinger. Ojo cidra mundak cilaka yang bermakna jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah. Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.
- Ojo milik barang kang melok. Ojo mangro mundak kendo yang bermakna jangan tergiur oleh hal yang tampak mewah, cantik, indah. Jangan berpikir mendua agar tidak kendor niat dan semangat.
- Ojo adigang, adigung, adiguno yang bermakna jangan merasa kuasa, merasa besar, merasa sakti.
Sunan
Kalijaga wafat pada tanggal 10 Sura 1513 atau sekitar 17 Oktober 1592. Di dalam
tungkup kayu berukir bersemyam jasad raden Joko Said. Di sekeliling tungkup makam
itulah para Sobat Piknik melantunkan rangkaian dzikir dan doa kehadirat Allah Subhanahu
Wata’ala mengingat dan merenungi wasiat yang diwariskan Sunan Kalijaga.
Photo by : Kang Habib |
Photo by : Rizz |
Muhammad Ulil Al-Bab |
Setelah
berziarah, Travelista keluar ruang makam melalui jalur keluar yang di design
satu arah. Di salah satu sudut jalur keluar terdapat gentong peninggalan Sunan
Kalijaga yang digunakan sebagai padasan atau tempat air wudu dan pedaringan atau
tempat menyimpan beras yang kini difungsikan sebagai menyimpan air yang
dituangkan dalam gelas untuk minum Sobat Piknik yang selesai berziarah.
Photo by : Ahmad Muhtarom |
Di
bagain timur komplek makam dan masjid terdapat sumur Jolotundo yang konon
menjadi petilasan Sunan Kalijaga yang hingga kini air sumur Jolotundo masih dipakai
oleh Sobat Piknik untuk berbagai keperluan karena diyakini memiliki karomah
untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Photo by : Muhammad Ulil Al-Bab
Selesai sudah
piknik kali ini. Sampai jumpa di piknik selanjutnya...
Pesan moral :
Dari kisah panjang Sunan Kalijaga, Travelista belajar tentang
bagaimana kita harus cermat melihat realitas yang ada dalam mencapai sebuah
cita – cita. Sikap menerima keadaan, saling menghargai dan memahami membuat
pertentangan dan perbedaan dapat disandingkan tanpa adanya konfrontasi yang
berarti. #SALUT!!!
Komentar
Posting Komentar