Mungkin
Sobat Piknik mengira bahwa bandeng presto tanpa duri merupakan oleh – oleh khas
Semarang. Tapi sebenarnya adalah oleh – oleh khas kecamatan Juwana yang dialiri
oleh silu atau sungai Gonggo yang bermuara di laut Jawa. Bentang alam inilah
yang menjadikan Juwana cocok untuk membudidayakan ikan bandeng dengan sistem tambak.
Sentra
industri bandeng presto dapat Sobat Piknik temukan di desa Dukutalit. Resep dan
cara pengolahan yang diwariskan secara turun temurun menjadikan olahan ikan bandeng
ini tahan lama dan menjadi produk unggulan Juwana meski banyak dipasarkan di
Semarang.
Travelista
singgah di alun - alun Juwana yang berada di tepi jalan raya Pantura menjadi
landmark kota Juwana. Alun – alun yang dibangun seiring dengan pembangunan
Grote Postweg atau jalan Raya Pos oleh Daendels ini menjadi satu kesatuan
dengan rumah residen belanda yang kini difungsikan sebagai kantor kecamatan
Juwana. Hal ini sesuai dengan prinsip mocopat yang dianut masyarakat Jawa yaitu
di tengah pusat pemerintahan, kantor polisi, penjara, masjid dan pasar terdapat
sebuah alun - alun tempat mengumpulkan masa untuk mendengar titah raja atau
pemimpin daerah.
Travelista
kelilingi alun - alun Juwana yang tidak terlalu besar. Hampir setiap sudut
tertutupi dengan gerobak pedagang aneka makanan dan pakaian. Perjalanan
Trevelista terhenti di halaman sekolah dasar 01 yang tampak ramai dengan Sobat
Piknik yang antri di sebuah kedai sego gandul Haji Moefidz. Trevalista pun
putuskan untuk makan malam kuliner khas Pati yang satu ini.
Photo by : Ketut Pancoro |
Nasi gandul
adalah sejenis sup dengan kuah santan berisi daging dan jeroan sapi. Cara
panyajian sego gandul cukup unik karena nasi putih di alas daun pisang lalu disiram
dengan kuah berempah yang memiliki cita rasa manis, asin dan gurih. Sebagai
lauknya, Sobat Piknik dapat memilih empal daging, kikil, babat, hati, paru,
usus dan lidah sapi yang sudah direbus hingga lunak. Segera Travelista cicipi kuah
sego gandul Haji Moefidz. Dan ternyata rasanya JUARA !!!
Malam semakin larut, satu persatu kedai pedangan mulai
tutup. Travelista putuskan untuk menginap di rumah Sobat Karib yang tinggal di
Juwana dan berbincang hingga larut malam. Saking pulasnya tidur. Malam pun
berganti siang. Hingga terlewat waktu subuh ! Hehehe…
Wah… Andai
tidak telat bangun subuh. Travelista masih dapat menyaksikan aktivitas lelang
ikan di pelabuhan Juwana ! Hmmm… Trevalista pun pergi untuk mengunjungi tempat
pelelangan ikan di pelabuhan Juwana. Ya siapa tau masih bisa melihat sisa
aktivitas pelelangan ikan. Hehehe…
Saat
sampai di tempat pelelangan ikan. Travelista mulai tidak yakin bisa menyaksikan
sisa aktivitas lelang ikan. Tapi yang sudah tanggung di depan pintu pelabuhan.
Ya Travelista masuk saja dengan minta izin ke Petugas jaga.
Ternyata benar ! Sudah tidak ada aktivitas pelelangan ikan
sama sekali. Hanya ada aktivitas kru kapal yang sedang beristirahat atau membersihkan
kapalnya. Hmmm…
Perjalanan
Tarvelista teruskan menyusuri sepadan jalan sejajar dengan sungai Gonggo.
Langkah Travelista pun terhenti di
sebuah bangunan kayu yang dinaungin pohon besar dan rindang. Sobat Piknik
menyebutnya sebagai pulau Seprapat karena ukurannya yang tidak terlalu luas. Konon
dulunya tempat ini merupakan sebuah pulau di tengah aliran sungai. Namum kini dataran
pulau yang dulu terpisah kini menyatu dengan bantaran kali.
Tempat
ini cukup kental dengan mitos tempat kera penunggu pulau yang konon merupakan
jelmaan petapa asal Majapahit yang gagal dalam menguji kesaktiannya. Konon
petapa tersebut berhasil mendapatkan pusaka sakti yang dapat menyambungkan segala
sesuatu yang telah terpisah.
Petapa
pun membuktikan karomah pusaka dengan momotong seekor ular menjadi dua bagian kemudian
meletakkan pusaka di atas badan ular yang terpotong. Seketika ular tersebut
dapat tersambung dan hidup lagi. Kejadian tersebut ia ceritakan kepada kakak
perempuannya.
Sehingga
sang kakak ingin membuktikan ucapan dan hasil pertapaan adiknya tersebut. Maka
dipenggallah leher sang adik dan dipulihkan kembali dengan karomah pusaka. Namun
karena belum percaya dengan kejadian itu. Maka dipenggallah leher sang adik untuk
kedua kali. Namun dipecobaan kedua, kepala sang adik menghilang dan tidak berhasil
diketemukan. Sang kakak pun panik ! Sehingga ia terpaksa memenggal kepala kera
sebagai ganti kepala sang adik kemudian disambungkan dengan menggunakan karomah
pusaka.
Karena
kejadian tersebut. Sang adik memutuskan untuk menetap di pulau Seprapat selama
lamanya dan menjaga harta benda Dampo Awang seorang sudagar dari negeri Champa
yang melakukan ekspedisi ke tanah Jawa bersama laksamana Cheng Ho. Dari mitos
tersebut, konon dulu ada Sobat Piknik yang mengadakan ritual pesugihan di pulau
Seprapat. Hmmm… Pengen kaya tapi malas kerja #Huft…!!!
Di
tengah pulau Seperapat terdapat sebuah bangunan kayu yang menaungi makam tua
yang konon milik Datuk Lodang yang merupakan penyebar agama Islam di Juwana. Untuk
merubah citra pulau Seprapat sebagai tempat pesugihan maka setiap menjelang
acara sedekah laut Juwana, tempat ini dijadikan tempat berdoa bersama sebelum
melakukan acara sedekah laut agar dilindungi dan diberikan kelancaran oleh
Tuhan Yang Maha Esa. #Cakep !
Nama
Juwana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata Jiwana yang berarti Kahuripan.
Namun ada pula yang meyakini nama Juwana berasal dari kata Drujuwana. Druju
adalah nama pohon dan wana berarti hutan sehigga jika diartikan Juwana adalah
hutan yang ditumbuhi pohon druju.
Pada
masa itu Juwana adalah pelabuhan penting di pulau Jawa. Pedagang asing membeli
hasil bumi dari Juwana untuk di jual ke tempat lain. Sehingga pada masa
kesultanan Mataram Islam, Juwana dijadikan sebagai kota kabupaten dengan
Tumenggung Bahurekso sebagai Bupati pertama yang memerintah sekitar tahun 1628
- 1682.
Namun
pemerintah hindia belanda melakukan politik adu domba dengan mengutus bupati Pati
Raden Haryo Condrodiningrat untuk juga memimpin Juwana. Sehingga pada tahun
1902, status Juwana diubah dari kabupaten menjadi kawedanan atau setingkat
kecamatan yang dipimpin Patih Suryodipuro. Dan pelabuhan Juwana pun tenggelam
dengan ketenaran pelabuhan Semarang, Jepara dan Rembang.
Source : Facebook Indonesia Tempo Doeloe |
Namun
untuk mengetahui sisa eksistensi kabupaten Juwana, Sobat Piknik dapat
menziarahi komplek pemakaman bupati Juwana yang terletak di jalan Mangkudipuro
Growong Kidul. Sobat Piknik dapat juga mengikuti acara nyadran atau membersihkan
makam bupati Juwana di bulan ruwah dalam kelender Jawa atau menjelang bulan
ramadhan dalam penanggalan hijriah yang dirangkai dengan kirab pusaka keliling
kota Juwana.
Travelista
menyusuri jalan Silugonggo yang merupakan Pecinan kota Juwana. Perjalanan
Travelista terhenti di depan kantor Polsek Juwana yang merupakan bekas kediaman
seorang Letnan Tionghoa Go Tat Thiong. Tadinya Travelista mau masuk dan foto –
foto. Tapi melihat tatapan bapak Polisi yang berjaga. Travelista mendadak ga PD
dan takut langsung dikurung pakai kurungan ayam ! Hehehe…
Tepat
di depan kantor Polsek. Terdapat warung Bu Marni yang menjajakan kuliner khas
Juwana yaitu mangut ndas manyung yaitu sejenis gulai santan bercita rasa gurih pedas
dengan isian kepala ikan manyung asap berukuran besar yang dimasak dengan tungku
kayu sehingga menciptakan cita rasa yang #JUARA !!!
Photo by : Nadhif Alwi |
Photo by : Caecilia Wijayanti
Setelah
kenyang, perjalanan Travelista teruskan sholat Dzuhur di masjid Besar Juwana
yang bersebelahan dengan alun – alun. Masjid Besar Juwana dibangun sekitar
tahun 1850 pada masa pemerintahan Adipati Mangkudipuro II. Namun renovasi yang
dilakukan justru menghilangkan tampilan aslinya walau tetap menyisakan kubah
berundak 3 yang ditopang 4 soko guru kayu jati di bagian dalam masjid.
Photo by : Pak Noor Kudus |
Photo by : Refa sdb |
Setelah
sholat di masjid Besar, Travelista sempatkan untuk mengunjungi bekas stasiun
kereta api Juwana. Sebuah stasiun bersejarah yang dibangun pemerintahan hindia belanda
untuk mengakut hasil bumi Juwana ke semarang melalui Pati dan Kudus. Namun
karena kalah bersaing dengan moda transportasi lain, maka pada tahun 1986 jalur
kereta Semarang – Juwana – Tayu serta Juwana – Rembang di nonaktifkan. Kini
sisa bangunan stasiun Juwana tak lagi terawat sehingga dimanfaatkan warga
sebagi tempat parkir dan main bulutangkis. Sayang sekali ya Sobat Piknik?! Hmmm…
Photo by : Wikipedia |
Selesai sudah
piknik kali ini. Sampai jumpa di piknik selanjutnya...
Pesan moral :
Sebagai
lokasi yang strategis. Juwana cukup banyak meninggalkan artefak sejarah. Namun
sayang artefak sejarah yang tersisa dalam kondisi yang kurang terawat. Travelista
berharap artefak sejarah yang ada di Juwana dapat di revitalisasi agar menjadi
daya tarik wisata dan berkah ekonomi bagi masyarakat Juwana yang dikombinasikan
dengan nguri - uri budaya yang sudah dilakukan sehingga artefak sejarah dan tradisi
leluhur Juwana tidak hilang. #Ayokejuwana
Komentar
Posting Komentar