Kali ini
Travelista sedang berada di Kota Amuntai yang merupakan ibukota Kabupaten Hulu
Sungai Utara. Sebuah kawedanan yang sudah terbentuk sejak jaman hindia belanda
bahkan sudah dikenal sejak jaman kerajaan Hindu Majapahit yang melakukan
ekspansi ke seluruh Nusantara.
Dengan
luas sekitar 291 km² kota
Amuntai cukup ramai terutama di sepanjang jalan A Yani dan Norman Umar yang
merupakan pusat pemerintahan, tidak jauh dari aliran sungai Tabalong yang
pernah menjadi urat nadi transportasi Amuntai jaman dulu.
Kini
bantaran sungai Tabalong kota Amuntai ditata lebih rapi dengan menghadirkan
tugu itik Alabio sebagai ikon kota. Perlu Sobat Piknik ketahui bahwa Amuntai
identik dengan itik Alabio yang bernama latin Anas Plathycus Borneo. Fauna
endemik yang berasal dari desa Mamar Amuntai Selatan yang banyak dijajakan di
pasar unggas Alabio.
Photo by : Siran Masri |
Photo by : Henker |
Dari
tugu itik Alabio, Travelista teruskan berjalan menuju jalan Batung Batulis
untuk mengunjungi situs candi Hindu Pulau Kalimantan. Sebuah situs candi yang
tak sengaja ditemukan saat kegiatan perluasan kota Amuntai pada tahun 1962 dan selesai
dipugar pada tanggal 18 september 1986.
Untuk
masuk ke dalam situs candi Agung Amuntai Sobat Piknik cukup membayar tiket
masuk sebesar Rp 5.000 dan Rp 3.000 untuk si buah hati.
Situs
candi Agung Amuntai merupakan peninggalan kerajaan Negara Dipa yang dibangun
oleh Empu Jatmika seorang saudagar kaya dari negeri Keling Kediri yang diutus oleh
Hayam Wuruk raja Majapahit sekitar tahun 1438 di hulu sungai Bahan atau sungai
Negara yang bertemu dengan aliran sungai Tabalong dan Balangan.
Kisahnya
bermula sekitar tahun 1355 Empu Jatmika memimpin ekspedisi ketiga Majapahit
menyerang kerajaan Dayak Ma'anyan Nan Sarunai yang bercorak kaharingan.
Pertempuran pertama terjadi sekitar bulan april 1358 dan pertempuran kedua
terjadi sekitar bulan desember 1362 yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Nan
Sarunai.
Empu
Jatmika mendirikan candi Laras di margasari Kabupaten Tapin kemudian candi Agung
di Amuntai. Ketika mendirikan candi Agung, daerah tersebut merupakan kekuasaan
kerajaan Kuripan. Karena raja Kuripan tidak memiliki keturunan sehingga raja
menganggap Empu Jatmika sebagai anak. Setelah raja Kuripan wafat, seluruh
wilayah kerajaan diganti dengan nama Negara Dipa.
Empu
Jatmika menikah dengan Sitira Menguntur dan mempunyai dua anak yaitu Empu
Madastana dan Lembu Mangkurat. Setelah Empu Jatmika wafat, pemerintahan Negara
Dipa diteruskan oleh Lembu Mangkurat.
Konon
di suatu ketika Lembu Mangkurat bertapa di sungai Balangan berhasil menemukan keajaiban
yaitu dengan kemunculan putri Junjung Buih dari dasar sungai sebagai perwujudan
bunga air.
Lembu
Mangkurat pun jatuh hati pada sang putri, namun ditolaknya dengan halus. Akhirnya
putri Junjung Buih dijadikan kakak angkat Lembu Mangkurat. Putri Junjung Buih pun
dijadikan kepala negara dan Lembu Mangkurat menjabat sebagai kepala
pemerintahan atau Patih.
Dikisahkan
banyak pria yang melamar putri Junjung Buih namun semua ditolaknya. Penasaran dengan sikap sang kakak. Maka Lembu
Mangkurat pun bertanya kepada putri Junjung Buih. "Siapa yang kamu
inginkan untuk mendampingimu ? Sang putri menjawab "Aku hanya ingin
bersuami dengan seorang putra kerajaan Majapahit dari pulau Jawa !"
Mendengar
hal tersebut Lembu Mangkurat berserta rombongan segera berlayar ke pulau Jawa
dengan kapal Prabayaksa menuju keraton Majapahit yang konon disambut oleh patih
Gajah Mada yang menanyakan “ Apa maksud dan tujuan kedatangan Lembu Mangkurat
beserta rombongan datang ke Majapahit ? Maka dijawablah “ Bahwa rombongan
diutus untuk meminang salah seorang putra kerajaan Majapahit untuk dijadikan
suami putri Junjung Buih !”
Dengan
persembahan 10 biji intan. Lalu pinangan tersebut diterima dengan membawa Raden
Putra yang bergelar Suryanata sebagai perwujudan raja dewa matahari. Yang
kemudian menggantikan peran sang istri menjadi raja Negara Dipa.
Di
situs candi Agung inilah terdapat berbagai titik kunjung dan artefak tersisa yang
dapat Sobat Piknik sambungkan dengan berbagai rangkaian peristiwa tadi.
Keunikan
situs candi Agung Amuntai dibanding dengan candi di daerah lain adalah candi yang
dibangun di atas tanah rawa yang diurug. Sebelum diurug, tanah rawa terlebih
dahulu diberi tiang pancang dari kayu ulin. Setelah tanah urugan cukup kuat, barulah
dibuat konstruksi bangunan dari bahan bata dengan struktur terakota.
Meski
namanya candi, namun Sobat Piknik tidak akan menemukan bentuk bangunan candi
pada umumnya melainkan beberapa kolam kecil sumber air yang ditutupi kain
kuning.
Di
depan lokasi situs candi Agung terdapat sebuah anjungan pertapaan pangeran
Suryanata yang ditutupi berwarna kain kuning dengan dijaga seorang juru kunci
yang dapat memandu doa Sobat Piknik ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Selain
itu terdapat juga situs Tihang Penjagaan atau pintu gapura menuju candi Agung. Konon
Empu Jatmika menugaskan empat orang patih yang masing – masing bernama Perimba
Segara, Pembalah Batung, Gerotong Manau dan Gerotong Waluh. Konon ke empat
patih tersebut memiliki kesaktian sama tinggi dan selalu bersama dalam segala
keadaan atau tidak dapat dipisahkan sehingga dijuluki dengan datu patih Empat.
Beranjak
ke depan Tihang gapura terdapat Tihang Mahligai atau tempat pemandian putri
Junjung Buih yang merupakan istri pangeran Suryanata. Dari Tihang Mahligai ini
biasanya Sobat Piknik mengambil air untuk ritual mandi dengan menggantungkan
bunga pada tiang pagar sumur sebagai syarat hajat yang dipanjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Photo by : Herman Syah |
Di
bagian belakang candi Agung terdapat anjungan Tihang Sembilan yang dulu
berfungsi sebagai dermaga kapal dari luar kerajaan. Konon di dermaga ini
terdapat sembilan tiang untuk menyadarkan kapal. Kini Tihang Sembilan digunakan
untuk badudus yaitu sebuah ritual mandi yang dilakukan oleh Sobat Piknik jika memiliki
hajat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk
melakukan ritual badudus, Sobat Piknik harus menyediakan sesajen berupa mayang
pinang, kembang 3 atau 7 rupa, beras, gula merah, buah kelapa dan buah pisang.
Konon bagi Sobat Piknik yang badudus di Tihang Sembilan dapat mengambil karomah
putri Junjung Buih untuk membuka aura.
Dan
titik kunjung terakhir Travelista adalah anjungan telaga darah. Tempat ini dikaitkan
dengan pembunuhan anak kembar dari Empu Mandastana yang bernama Bambang
Sukmaraga dan Bambang Patmaraga oleh paman mereka yaitu patih Lembu Mangkurat
yang terbakar cemburu sebab putri Junjung Buih menjatuhkan bunga Nagasari
sebagai tanda cinta kepada si kembar.
Sehingga
timbullah rencana sang paman untuk menyingkirkan keduanya dari kerajaan dengan
tipu muslihat mengajak si kembar berekreasi dengan menyelam di sungai. Dikisahkan
bahwa si kembar dibunuh ketika sedang menyelam dan jasadnya ditenggelamkan di
dasar sungai hingga tidak timbul lagi.
Mendengar
kabar anaknya di bunuh oleh pamannya sendiri maka ayah dan ibu Bambang
Sukmaraga dan Bambang Patmaraga pun bunuh diri di tempat yang kini dikenal
sebagai telaga darah.
Komentar
Posting Komentar