Kali ini
Travelista dapat undangan untuk menghadiri acara di kota Medan. Tadinya
Travelista rada malas untuk berangkat. Tapi tiket dan akomodasi sudah disiapkan
penyelenggara. Jadi ya tidak enak kalau Travelista tidak juga berangkat.
Hmmm... Rada maksa ya Sobat Piknik ?! Hehehe...
Setelah
pesawat landing. Dari bandara Kuala Namu Travelista naik kereta menuju kota
Medan. Tiba di stasiun sudah ada personil yang stand by di depan pintu keluar.
Hmmm… Sudah seperti tamu istimewa saja ya Sobat Piknik ?! Hehehe…
Sebelum acara dimulai Travelista sempatkan breaklunch sajian khas
Medan. Selain BPK dan durian, Medan juga terkenal dengan soto
khasnya. Hampir sama dengan cita rasa soto dari daerah lain di Indonesia, namun
kuah santan soto Medan lebih kental dan gurih sehingga lebih mirip dengan kari.
Kali ini Travelista mencoba varian soto Medan yang berbeda dengan soto Medan pada umumnya. Travelista sempatkan untuk mengunjungi kedai soto bening Haji Anwar Sulaiman
yang berlokasi di jalan Brigjen Katamso No 43 yang buka
setiap hari dari pukul 07.00 – 16.00 WIB.
Sekilas
soto berkuah kaldu ini mirip dengan soto Madura, bedanya ada pada aroma jinten
yang begitu terasa. Perpaduan potongan daging, babat atau paru dengan kuah
bening gurih membuat soto bening ini begitu nyaman saat dikunyah. Hmmm... JUARA
!!!
Setelah selesai
breaklunch, Travelista langsung ke tempat acara. Dan setelah acara selesai,
Trevlista gunakan sisa waktu untuk mengunjungi istana Maimun yang merupakan istana kesultanan Deli yang di desain oleh Theodoore van Erp seorang
tentara dan arsitek belanda kelahiran Ambon.
Dibangun dalam periode tahun 1888
- 1891, istana Maimun memiliki luas sekitar 2.772 m² yang terdiri dari 2 lantai dengan 30 ruangan.
Terdapat dua
versi tentang nama Maimun yang disematkan pada istana. Versi pertama, kata Maimun
berasal dari nama istri yang bernama Maimunah. Dan versi kedua yang beranggapan
bahwa kata Maimun diambil dari bahasa Arab yaitu Maimunah yang berarti berkah
atau rahmat. Hmmm... Travelista rasa dua - duanya dapat diterima. Hehehe...
Gaya
arsitektur eropa di istana Maimun dapat Sobat Piknik lihat pada banyaknya pintu,
langit - langit yang tinggi dan pilar penopang berukuran besar. Gaya arsitektur
Melayu diwujudkan dalam ukiran yang menghiasi istana, juga warna yang digunakan
seperti kuning, hijau dan merah yang mewakili warna - warna khas Melayu serta
corak Timur Tengah yang dapat Sobat Piknik temukan pada bentuk lengkung pintu
dan lampu hias.
Di dalam istana,
Sobat Piknik juga dapat menyewa pakaian
adat untuk dipakai berfoto. Kalau Sobat Piknik memakainya. Hmmm... Serasa
Sultan dan Permaisuri. Hehehe...
Tapi yang
Travelista sangat sayangkan kenapa stand penyewaan baju atau penjualan cendera
mata ada di dalam ruang istana ? Tak bisakah ditata di tempat yang lebih tepat
agar kesakralan dan kemegahan istana kebanggaan masyarakat Deli ini lebih
terpancar ? Hmmm...
Dalam
piknik ke istana Maimun kali ini tak dapat koleksi yang dapat Travelista
nikmati karena nampaknya beberapa koleksi nampaknya disisihkan terlebih dahulu
karena ada acara yang diselenggarakan di sekitar istana ini. Travelista hanya
dapat memfoto sempurna etalase perhiasan dan piring kuno yang nampaknya berasal
dari Tiongkok.
Di
luar istana terdapat sebuah bangunan bergaya arsitektur adat batak. Di dalamnya
Sobat Piknik dapat melihat sebuah meriam tua yang diberi nama meriam puntung. Dinamakan
meriam puntung karena bagian ujung meriam pecah sehingga masyarakat menyebutnya
sebagai puntung.
Adapula
yang menyebut meriam Puntung adalah penjelmaan dari adik putri Hijau dari kerajaan
Deli Tua yang bernama Mambang Khayali yang berubah menjadi meriam untuk
mempertahankan istana dari serangan raja Aceh yang ditolak pinangannya. Akibat
meriam yang terus menerus digunakan, bagian ujungnya terpental hingga ke
kampung Sukanalu Tanah Karo.
Keunikan
meriam ini adalah Sobat Piknik dapat mendengar suara gemuruh angin saat Sobat
Piknik meletakkan telinga di ujung meriam.
Di
kawasan istana Maimun juga terdapat pusat cendramata yang dapat Sobat Piknik
beli sebagai oleh – oleh khas Sumatera Utara untuk keluarga atau kerabat.
Dari
istana Travelista teruskan berjalan kaki untuk mengunjungi sebuah taman yang
bernama Sri Deli. Konon dulunya taman ini merupakan tempat bersantai sultan
beserta keluarga.
Taman yang dibangun pada 1924 memiliki perpaduan arsitektur
Turki, India dan Mesir sebagai manifestasi karakter internasional kota Medan yang
sudah ada sejak zaman dulu.
Tepat
di depan depan taman Sri Deli terdapat masjid Al Mashun
yang dibangun pada tahun 1906 – 1909 oleh sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam
yang menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden.
Pendanaan pembangunan masjid berarsitektur
Timur Tengah, Eropa dan Melayu ini didanai oleh sultan dan konon juga dibantu oleh
Tjong A Fie seorang tokoh etnis Tionghoa kota Medan yang juga sahabat sultan Ma’mun
Al Rasyid Perkasa Alam.
Masjid Al
Mashun juga dirancang oleh Theodoore Van Erp,
tetapi kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman karena Theodoore Van Erp dipanggil pemerintah hindia belanda untuk
bergabung dalam proyek restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah.
Secara
umum bangunan masjid Al Mashun dibagi menjadi empat bagian yaitu ruang utama,
tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Dan perlu Sobat Piknik ketahui bahwa
sebagian bahan bangunan masjid Al Mashun diimpor dari luar negeri seperti
marmer dari Italia, kaca patri dari Tiongkok dan lampu gantung dari Prancis.
Ada kisah
menarik dalam pemilihan lokasi masjid Al Mashun ini. Karena sultan Ma’mun Al
Rasyid Perkasa Alam memiliki banyak relasi di kota Medan maka untuk menghindari
terjadinya kecemburuan banyak pihak.
Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam membuat
sebuah kesepakatan bahwa lokasi pembangunan masjid ditentukan berdasarkan
tempat jatuhnya layangan yang diterbangkan. Dan tempat jatuhnya layangan itu
yang kini menjadi lokasi masjid Al Mashun saat ini.
Selesai sudah piknik kali ini. Sampai jumpa di piknik selanjutnya...
Pesan moral :
Bangunan peninggalan
kesultanan Deli merupakan saksi perjalanan peradaban kota Medan sebagai kota
internasional yang sudah terbangun sejak dulu. Dan selayaknya sejarah tersebut
menjadi sebuah motivasi bagi kita semua agar “level internasional” kota Medan saat ini bisa melebihi “level internasional” kota Medan di masa kejayaan kesultanan
Deli.
Komentar
Posting Komentar