Gabut di hari libur. Travelista
bingung mau ngapain ? Diam di rumah sudah bosan sekali karena cukup sering WFH.
Mau ke tempat wisata juga tidak seru karena tidak bisa mengajak Si buah hati.
Setelah
melihat berita bahwa jumlah penumpang kereta api tidak sepadat di masa sebelum
pandemi. Seketika timbul ide Travelista untuk
piknik naik kereta. Pilihannya jatuh pada KRL yang tak perlu rapid test untuk
menaikinya.
Setelah menentukan moda transportasi, hal selanjutnya adalah menentukan
stasiun dan destinasinya. Segera Travelista download peta KRL dari situs www.krl.co.id untuk mengetahui jurusan akhir KRL yang ada.
Rute KRL (Source : www.krl.co.id) |
Setelah Travelista pelajari, pilihan stasiun destinasi jatuh pada stasiun angke. Kenapa stasiun angke ? Karena tak lepas dari sejarah tentang asal usul penamaan daerah angke.
Bergegas Trevelista menuju stasiun dekat rumah menunggu KRL jurusan angke. Kereta pun tiba, segera Travelista naik ke kereta yang nampak kosong karena PT KCI sebagai operator KRL menerapkan kebijakan maksimal penumpang setiap gerbong hanya 74 orang. Sebuah kondisi yang kontras dengan kondisi sebelum pandemi terjadi. Hmmm...
Tak terasa
kereta tiba di stasiun pemberhentian akhir yaitu stasiun angke. Sebuah stasiun
kereta yang sudah eksis sejak jaman belanda seiring pembukaan jalur kereta relasi
Jakarta – Rangkasbitung – Anyer.
Keluar dari stasiun, perjalanan Travelista lanjutkan menyusuri jalan stasiun Angke, belok ke kiri menyusuri jalan Pangeran Tubagus Angke yang selajur dengan kali Angke lalu belok ke kiri lagi memasuki gang masjid I. Dari ujung gang hanya berjarak 100 meter untuk mencapai masjid Jami Angke.
Awalnya Travelista tidak menyangka, “kok bisa, sebuah benda cagar budaya ada di pemukiman padat seperti ini ?” Bisa dibilang hampir tidak ada ruang terbuka di area ini, mungkin hanya ruang atas sekitar halaman masjid. Itu pun terteduhkan oleh tembok tinggi yang menghalangi cahaya matahari.
Dalam hati Travelista bertanya “apa iya, dari dulu memang sudah padat seperti ini ?” Segera Travelista cari gambaran di internet untuk mengetahui lingkungan sekitar masjid jami Angke tempo dulu.
Lingkungan masjid angke tempo dulu (Source : wikipedia.org) |
Oh, rupaya jaman dulu masjid yang bangun pada tahun 1751 ini nampak berada di sebuah hutan yang dikelilingi oleh pepohonan. Berbeda dengan jaman sekarang yang dikelilingi perumahan. Hehehe...
Kalau dibandingkan foto dulu dan sekarang, nampaknya bangunan masjid ini masih memperlihatkan keasliannya. Sebenarnya Travelista mencoba mendapatkan sudut pengambilan foto yang sama saat pengambilan sudut foto jaman dulu. Tapi rasanya sangat mustahil. Karena Travelista sudah tidak dapat mundur lagi untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas. Kalau got masih bisa Travelista langkahi. Tapi ini tembok Sobat Piknik ! Travelista tidak bisa menembusnya. Hehehe…
Masjid angke tempo dulu (Source : wikipedia.org) |
Konon lahan masjid Angke dibeli oleh masyarakat Hindu Bali, kemudian diserahkan kepada warga Angke untuk dibangun sebuah masjid, tetapi pendanaan dan rancangannya dilakukan oleh orang Tionghoa.
Sejarah masjid Angke erat kaitannya dengan peristiwa pembunuhan etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 oleh pemerintah hindia belanda yang disebut chinezenmoord dalam bahasa belanda atau geger pecinan dalam bahasa indonesia.
Perlu Sobat Piknik ketahui bahwa eksistensi VOC di Nusantara, tak lepas dari andil etnis Tionghoa yang piawai mengerakkan perekonomian suatu wilayah. Bahkan pemerintah hindia belanda sampai menciptakan jabatan baru dalam struktur pemerintahannya yaitu kapitan Cina untuk mengatur masyarakat etnis Tionghoa yang ada wilayahnya. Inilah yang sebab awal timbulnya anggapan bahwa etnis Tionghoa merupakan anak emas VOC.
Namun, seiring dengan merosotnya pendapatan VOC akibat lesunya perdagangan komoditas gula karena kalah bersaing dari kongsi dagang EIC milik inggris. Menyebabkan banyak buruh pabrik gula yang terpaksa menganggur, ditambah lagi dengan banyaknya imigran gelap yang datang dari Tiongkok tanpa memiliki pekerjaan, menambah tingkat pengangguran yang terjadi di Batavia.
Masalah pun mulai timbul saat pengangguran dan imigran gelap menjarah perusahaan milik VOC termasuk pabrik gula untuk bertahan hidup. Kondisi yang semakin meresahkan ini membuat Adriaan Valckenier selaku Gubernur Jenderal VOC saat itu mencari berbagai cara untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Salah satunya dengan menerapkan aturan kuota izin tinggal etnis Tionghoa di Batavia. Namun aturan ini tidak efektif karena banyak pejabat VOC yang korup sehingga Adriaan Valckenier melakukan program deportasi etnis Tionghoa ke Sri Lanka dan Afrika Selatan yang merupakan daerah koloni VOC juga.
Namun saat program deportasi mulai berjalan. Beredar rumor bahwa etnis Tionghoa yang deportasi ke Sri Lanka dan Afrika Selatan dengan kapal dibuang ke laut sebelum sampai ke tempat tujuan. Rumor tersebut memicu keresahan di kalangan etnis Tionghoa yang masih bertahan di Batavia.
Gerakan perlawanan untuk menentang kebijakan Adriaan Valckenier pun mulai bermunculan. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada tanggal 7 Oktober 1740 etnis Tionghoa menyerang benteng Batavia. Namun kerusuhan itu dapat diredam oleh pasukan hindia belanda yang dipimpin oleh Van Imhoff.
Tak terima dengan perlakukan etnis Tionghoa, Van Inhoff dengan izin Adriaan Valckenier melakukan tindakan represif terhadap etnis Tionghoa yang di kenal sebagai chinezenmoord atau geger pecinan.
Sebuah tulisan sejarah dari G.B Schwarzen seorang serdadu hindia belanda yang ikut terlibat dalam aksi chinezenmoord menuliskan pengalamannya “terjebak“ dalam peristiwa geger pacinan dalam buku Reise in Oost Indien (1751). Ia menceritakan bahwa pada tanggal 9 Oktober 1740 serdadu hindia belanda mulai memburu, membunuh, merampas harta dan membakar rumah etnis Tionghoa.
Konon 10.000 etnis Tionghoa tewas dengan cara mengerikan, termasuk wanita dan anak – anak dalam persitiwa ini. Mayat - mayat bergelimpangan di sudut kota dan di sungai menyebabkan warna air sungai berubah menjadi merah darah. Konon inilah asal usul penamaan angke yang berasal dari bahasa Hokkian yaitu ang yang berarti merah dan ke yang berarti sungai.
Masalah kian membesar saat serdadu hindia belanda melakukan propaganda devide et impera dengan menghembus isu bahwa etnis Tionghoa memperkosa perempuan pribumi, membunuh lelakinya atau menjadikannya sebagai budak. Sehingga menimbulkan kemarahan kaum pribumi dan bergabung dengan serdadu hindia belanda untuk memburu etnis Tionghoa. Hmmm... Dasar kompeni !
Peristiwa chinezenmoord (source : Rijksmuseum) |
Namun banyak juga etnis Tionghoa yang diselamatkan oleh orang muslim Banten dan hindu Bali yang bermukim di kampung yang kelak dijadikan lokasi pembangunan masjid Angke bahkan terjadi perkawinan dengan orang pribumi dan hidup damai berdampingan hingga saat ini.
Jika Sobat Piknik perhatikan, arsitektur masjid jami Angke memperlihatkan akulturasi budaya Bali, Jawa, Belanda, Arab (Moor) dan Tionghoa. Atap yang berundak khas pura Bali, bentuk persegi pada ruang bangunan dan tiang soko guru mengacu pada pengaruh Jawa. Kaligrafi, kusen, jendela dengan terali kayu bulat gaya Arab Moor. Daun pintu ganda dan anak tangga menampilkan unsur Belanda. Sedang unsur budaya Tionghoa terlihat pada ujung atap yang melengkung.
Memasuki ruang masjid Sobat Piknik terasa aura teduh karena terdapat jendela tanpa kaca dengan teralis kayu dan juga atap tanpa plafon yang menjadi sebagai sumber ventilasi ruang masjid.
Menoleh ke atas, Sobat Piknik dapat melihat loteng di bawah atap bersusun yang dulu difungsikan untuk mengumandangkan azan dan tempat persembunyian juga pengintaian para pejuang.
Di sisi barat atau di depan mihrab masjid terdapat komplek pemakaman kuno. Di antaranya terdapat makam nyonya Chen atau Tan Nio penyandang dana pembangunan masjid dan Syeh Liong Tan sang arsitek masjid Angke.
Makam Tan Nio (Source : www.bbc.com) |
Di sisi timur masjid atau di bagian depan masjid yang terpisah gang terdapat makam Pangeran Syarif Hamid Alkadrie putra pendiri kesultanan Pontianak yang diasingkan oleh belanda ke Batavia.
Di area pemakaman ini juga terdapat makam Ratu Pembayun Fatimah anak dari Sultan Maulana Hasanuddin penguasa kesultanan Banten, makam pengurus masjid pertama dan makam para pejuang penentang belanda.
Selesai sudah piknik kali ini. Sampai jumpa di piknik selanjutnya...
Pesan moral :
- Arsitektur masjid angke melambangkan keragaman komunitas tinggal di kawasan Angke. Semua dihimpun di atas perbedaan sebagai tekad untuk hidup rukun dan damai setelah sebuah tragedi yang mengerikan. Travelista terus berdoa semoga kita semua dapat hidup rukun dan damai tanpa memperdebatkan perbedaan dengan cara merekatkan persamaan sebagai satu bangsa yaitu bangsa INDONESIA dan umat manusia.
- Salah satu masalah klasik yang terjadi di kawasan bangunan tua adalah lingkungan yang kumuh. Dan itu terjadi pula di masjid tua jami Angke. Travelista hanya berharap agar pihak terkait dapat membenahi dan menjaga agar benda cagar budaya yang bersejarah ini dapat tampil lebih indah agar peziarah dapat berdoa dengan khusyuk.
Komentar
Posting Komentar