Langsung ke konten utama

Menggalang Rasa Perikemanusiaan di Pulau Galang

Kali ini tugas kantor membawa Travelista ke pulau Batam. Sebuah pulau yang memiliki keistimewaan bebas pajak di Indonesia. Tiba di Batam tak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi bukit Clara yang merupakan salah satu landmark pulau ini. Tulisan WELCOME TO BATAM adalah mantra yang selalu terucap, seolah menyambut Sobat Piknik saat berkunjung ke tempat ini.

Di kawasan bukit Clara tersedia banyak spot foto yang instagramable yang sayang untuk tidak diabadikan. Selain itu, di sini juga merupakan pusat kuliner yang dekat dengan pusat pemerintahan dan Masjid Agung Batam.

Pada dekade tahun 1970an, Presiden Soeharto bercita – cita menjadikan Batam sebagai “Singapuranya” Indonesia. Mulai dari tata pemerintahan, perpajakan hingga tata ruang kota. Kabel – kabel yang ditanam dalam tanah, pusat perbelanjaan yang terintegrasi dengan tempat tinggal, pemukiman dibuat vertikal hingga tempat makan yang dibuat konsep food court ala Singapura.

Nah, itulah sekilas tentang Batam, sebelum Travelista menghabiskan hampir seluruh waktu untuk bekerja. Maklum ada project kelas kakap. Hehehe…

Hampir 2 minggu Travelista di pulau Batam, akhirnya ada sedikit celah waktu untuk berwisata di pulau ini. Tujuannya pertama adalah Jembatan Barelang yang merupakan ikon dari kepulauan Riau. 

Jembatan yang menghubungkan pulau Batam, Rempang dan Galang ini dirancang oleh B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Ketua Otorita Batam dengan tujuan mempercepat laju industri di pulau Batam dan sekitarnya. 

Dan menjadi sebuah kebanggan bagi kita semua bahwa jembatan ini berteknologi tinggi yang dibangun oleh ratusan Insinyur Indonesia tanpa campur tangan dari tenaga ahli luar negeri. #BANGGAJADIANAKINDONESIA

Dari Jembatan Barelang I (Tengku Fisabilillah), Sobat Piknik dapat menikmati indahnya panorama sekeliling jembatan seperti pulau – pulau kecil, lautan biru, kapal - kapal yang melintas bawah jembatan dan juga aneka makanan yang dijajakan di sepanjang jembatan.

Dari jembatan Barelang I, perjalanan Travelista teruskan menuju jembatan Barelang II (Nara Singa), jembatan Barelang III (Raja Ali Haji), jembatan Barelang IV (Sultan Zainal Abidin), jembatan Barelang V (Tuanku Tambusai) sebelum akhirnya tiba di pulau Galang.

Berbeda dengan jembatan Barelang I. Jembatan Barelang II dan seterusnya relatif lebih sepi karena letaknya lebih jauh dari pusat kota Batam. Sehingga Sobat Piknik dapat lebih leluasa menikmati suasana di setiap sisi jembatan.

Dari jembatan V, jarak ke Kampung Vietnam berjarak sekitar 30 km. Perlu Sobat Pinik ketahui bahwa Pulau Galang awalnya tidak berpenghuni. Lalu, bagaimana kisahnya bisa ada rakyat Vietnam yang tinggal di wilayah Indonesia selama 16 tahun ???

Kisahnya dimulai pada 19 April 1975, saat pecah perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Perang yang berkepanjangan membuat rakyat Vietnam harus melarikan diri keluar wilayahnya. 

Dan cara yang paling memungkinkan saat itu adalah melalui jalur laut walau ganas gelombang samudera akan menghadang mereka. Tapi itulah pilihan yang harus diambil daripada mati konyol oleh tentara komunis Vietkong terkenal kejam.

Setelah kurang lebih selama satu bulan berlayar mengarungi samudera, tibalah rombongan pertama manusia perahu asal Vietnam di pulau Natuna pada 21 Mei 1975. Mereka berjumlah 75 orang menumpang sebuah perahu kayu. Disusul rombongan – rombongan berikutnya yang semakin lama semakin banyak hingga akhirnya menjadi permasalahan di beberapa negara tetangga Vietnam yaitu Malaysia, Thailand dan Indonesia.

Sehingga PBB pun kemudian turun tangan dengan minta bantuan Pemerintah Indonesia untuk menyediakan satu pulau untuk dijadikan tempat pengungsian sementara. Dan dipilihlah pulau Galang yang relatif masih kosong. Kemudian Manusia perahu Vietnam yang tersebar di beberapa kepulauan Riau akhirnya disatukan di Pulau Galang yang jumlahnya mencapai 250.000 jiwa, sebuah jumlah yang sangat besar dalam sejarah pengungsian.

Untuk masuk ke kawasan kampung Vietnam, Sobat Piknik akan dikenakan biaya Rp 5.000 yang dibayarkan saat Sobat Piknik melintasi pos penjagaan. 

Oya Sobat Piknik, sepanjang jalan di kawasan kampung Vietnam banyak di huni kera yang selalu menanti makanan dari Sobat Piknik yang datang. Biasanya Sobat Piknik yang datang ke sini sudah membawa kacang atau makanan ringan yang dibeli di sepanjang jalan askes jembatan Barelang tadi untuk diberikan kepada kera – kera penghuni kampung Vietnam.

Pulau ini terkesan tak terawat, sepertinya dibiarkan rusak secara alami untuk mengingatkan kita akan derita Pengungsi di camp ini. Terlihat bekas rumah sakit, gereja yang roboh dan juga pemakaman Pengungsi yang meninggal di pulau ini.

Perhentian pertama Travelista di eks camp pengungsian ini adalah Pagoda Quan Am Tu. Pagoda ini dibangun di atas bukit, hampir bersamaan dengan kedatangan Pengungsi Vietnam ke pulau Galang. Dari sini Sobat Piknik dapat melihat pemandangan hutan dan laut sekitar pulau Galang.

Kesan sepi dan tenang menyelimuti tempat ini, Pagoda Quan Am Tu cukup luas, mungkin dulu tempat ini selalu ramai dengan kegiatan ibadah yang dilakukan oleh para Pengungsi. Kini hanya terlihat seorang Biksu dan beberapa pengurusnya saja.

Beranjak dari Pagoda Quan Am Tu, perjalanan Travelista mengikuti rute yang dibuat satu arah oleh Badan Otorita Batam selaku pemilik lahan pulau Galang. 

Di tengah perjalanan nanti, Sobat Piknik dapat melihat sebuah monumen humanity statue yaitu patung seorang perempuan tidak berdaya. Monumen ini dibuat oleh para Pengungsi untuk mengenang tragedi yang menimpa seorang perempuan Pengungsi yang bernama Tinh Han Loai. Ia memilih bunuh diri karena tak kuat menanggung malu setelah diperkosa sejumlah pria sesama Pengungsi.

source : www.dewifatma.blogspot.com

Lanjut ke arah depan, Sobat Piknik dapat melihat monumen perahu yang pernah digunakan oleh Pengungsi Vietnam. Dengan perahu kayu kecil inilah para Pengungsi Vietnam berdesakan melarikan diri dari negerinya yang terlibat perang saudara. 

Tak sedikit di antara mereka yang meninggal sebelum sampai ke tanah harapan. Jenazah mereka di buang ke laut dan Pengungsi yang sehat terus melanjutkan perjalanan hingga akhirnya terdampar di pulau Galang. 

Begitu hebatnya perjuangan mereka untuk mempertahankan hidup di perahu dengan bekal seadanya. Itu sebabnya mereka dijuluki sebagai Manusia perahu.

Tak jauh dari monumen perahu ini terdapat sebuah museum sederhana yang menyimpan artefak Pengungsi Vietnam. Tidak dikenakan biaya kepada Sobat Piknik yang ingin melihat koleksi di dalamnya.

Di halaman depan museum dipajang sebuah sepeda merk Dura dan sepeda motor merk Suzuki Chrystal yang konon dibawa oleh Pengungsi dari Vietnam. 

Mungkin ini adalah salah satu harta yang dapat mereka selamatkan untuk merangkai hidup baru di tanah harapan.

Memasuki ruang museum, Sobat Piknik dapat melihat foto – foto dokumentasi kehidupan di camp pengungsian dikala itu, kartu identitas penghuni barak yang dibagi menjadi beberapa zona, kartu identitas sukarelawan yang mengurus kebutuhan pengungsi, buku – buku bertema pengungsian, peta rute pelarian dan juga peralatan rumah tangga peninggalan pengungsi.

Di ruang museum yang lain, dipajang foto dokumentasi kegiatan UNHCR bersama dengan perwakilan pemerintah Indonesia dalam mengurus para pengungsi selama tinggal di pulau Galang, kegiatan pemulangan pengungsi ke negara asal maupun ke negara penerima suaka, juga foto seribu wajah kenangan pulau Galang.

Tepat di depan museum terdapat sebuah bangunan penjara bercat merah putih. Penjara ini dikhususkan bagi pengungsi yang melakukan tindakan kriminal saat berada di pulau Galang atau pun pengungsi yang berusaha melarikan diri dari camp pengungsian. 

Dulunya penjara ini dijaga oleh Brimob yang diawasi secara ketat oleh PBB.

Beranjak dari museum, perjalanan Trevelista teruskan menuju Vihara Sakyamuni Sinam Galang Ky Vientu. Ini adalah tempat untuk beribadah Pengungsi Vietnam yang beragama Budha. 

Dan bangunan ini relatif lebih terawat dibandingkan dengan bangunan eks pengungsian lain yang tersisa di pulau Galang.

Tepat di sebelah Vihara Sakyamuni Sinam Galang Ky Vientu, terdapat sebuah gereja kayu sederhana yang sudah termakan usia. Gereja Nha Thu Duc Me Vo Nhiem ini merupakan tempat ibadah Pengunsi Vietnam yang beragama Katolik.

Selesai sudah menapaktilasi kisah manusia perahu di pulau Galang. Sebelum kembali ke pulau Batam, Travelista sempatkan makan siang di rumah makan yang tampak sederhana di tempat yang sangat terpencil. 

Rumah Makan Cita Rasa yang terletak di kampung Dapur Enam Sembulang yang menyajikan aneka seafood hidup yang harus Sobat Piknik pilih dulu dari jaring apung sebelum diolah ke dalam tungku api.

Terdapat banyak pilihan hewan laut di jaring apung ini, mulai dari aneka ikan, aneka kerang, udang, kepiting, rajungan dan gonggong yang menjadi ikon kuliner di kepulauan Riau dapat Sobat Piknik temukan di sini.

Selain tempatnya yang tradisional, cara masak di rumah makan ini juga tradisional yaitu menggunakan arang kayu sebagai sumber api. Dan inilah yang membuat semua masakan yang disajikan di rumah makan Cita Rasa. JUARA !!!


Selesai sudah piknik kali ini. Sampai jumpa di piknik selanjutnya...



Pesan moral :
Apapun alasannya, dampak dari perang adalah menyengsarakan. Kisah manusia perahu adalah kisah tentang sebuah tragedi dan perjuangan untuk mempertahankan hidup. Camp pengungsian di pulau Galang ini adalah monumen yang sarat akan nilai perikemanusiaan, namun sayang monumen ini tampak seperti terbengkalai. Semoga pemerintah ataupun Badan Otorita dapat melestarikan dan mengembangkan situs bersejarah ini menjadi tempat yang selalu dapat mengingatkan kita untuk menggalang rasa perikemanusiaan terhadap sesama.

Komentar

ARTIKEL PALING BANYAK DIBACA

Melihat Miniatur Kalimantan Selatan di Dalam Sebuah Museum

Berkunjung ke museum sebelum melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya adalah hal yang bijak di tengah keterbatasan waktu sambil menunggu penerbangan. Di sela waktu tunggu kali ini Travelista sempatkan untuk mengunjungi museum Lambung Mangkurat yang terletak di jalan Ahmad Yani Kota Banjar Baru. Pertama kali didirikan pada tahun 1907 oleh pemerintahan hindia belanda untuk menyimpan temuan artefak purbakala di Kalimantan Selatan dengan nama museum Borneo namun fungsinya dihentikan saat tentara jepang mulai menduduki Kalimantan Selatan. Borneo museum in Bandjarmasin 1907 koleksi Tropen Museum Pada tanggal 22 Desember 1955 dengan koleksi barang - barang pribadi miliknya. Amir Hasan Kiai Bondan mencoba menghidupkan kembali museum Borneo yang diberi nama museum Kalimantan. Pada tahun 1967 bangunan museum dipugar dan diberi nama museum Banjar hingga dibangun gedung museum baru bergaya rumah Bubungan Tinggi modern yang diberi nama Lambung Mangkurat dan diresmikan kembali oleh Mendikbud D...

Pusat Pemujaan Kerajaan Tarumanegara

Sebenarnya sudah beberapa kali Travelista bertugas di pusat kota Karawang. Namun baru kali ini Travelista sempat mengunjungi situs percandian Batujaya yang lokasinya cukup jauh dari pusat kota. Karena benar – benar niat, maka Travelista naik KRL dari stasiun Manggarai ke stasiun Cikarang disambung motoran dengan Sobat Kantor yang bersedia mengantar Travelista ke situs percandian Batujaya. Hehehe… Dari stasiun Cikarang, jarak ke situs percandian Batujaya sekitar 30 km melalui jalan Sukatani - Cabang Bungin - Batujaya kemudian berbelok ke jalan raya candi Jiwa. Setelah motoran sekitar satu setengah jam dari stasiun Cikarang, akhirnya Travelista sampai gapura jalan raya candi Jiwa. Motor Travelista parkir di museum situs candi Batujaya yang diresmikan tahun 2006. Di dalam museum, Sobat Piknik dapat melihat artefak yang ditemukan saat ekskavasi di situs percandian Batujaya seperti manik - manik, potongan kayu, arca, votive tablet atau keping tanah liat berbentuk miniatur stupa, gerabah...

Rumah Penentu Kemeredekaan di Bantaran Citarum

Piknik kali ini Travelista mengunjungi rumah Djiauw Kie Siong seorang saudagar Tionghoa kelahiran Rengasdengklok yang dijadikan tempat pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta yang teletak di jalan Perintis Kemerdekaan 33 Karawang. Jakarta tanggal 15 Agustus 1945 siang hari, para pemuda mengadakan pertemuan di Jalan Cikini 71 dengan keputusan agar proklamasi kemerdekaan segera dilakukan tanpa menunggu janji dari jepang. Sekitar pukul 21.30 malam hari, para pemuda mendatangi rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta setelah mendengar berita kekalahan Jepang dalam perang Pasifik. Para pemuda mengancam Bung Karno untuk memproklamasikan kemerdekaan “malam ini juga atau paling lambat besok tanggal 16 Agustus 1945” sambil menimang - nimang senjata. Namun para pemuda gagal memaksa Bung Karno karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI. Karena menurutnya memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia harus dibicarakan terlebih dahulu dengan seluruh anggota PPKI agar tidak menyimpang...