Langsung ke konten utama

Menyusuri Setiap Sudut Kota Tanjung Selor

Masih penasaran dengan Pujasera yang semalam Travelista kunjungi, pagi harinya Travelista kembali sambangi untuk mencari sarapan. Rupanya sama dengan Kulteka. Tak ada yang berjualan pagi di tempat ini. #memangkotayangunik. Ya sudahlah, sambil nahan perih lambung sedikit, mending mengamati aktifitas warga kota Tanjung Selor di pagi hari.

Tepat di depan Pujasera terdapat pelabuhan Kayan I yang merupakan pelabuhan peti kemas berukuran kecil. Barang yang dibawa sebagian besar sembako asal Surabaya. 

Memang sih, selama beberapa hari Travelista tinggal di kota ini, tidak melihat lahan pertanian atau sentra produksi sembako. Mungkin hal tersebut yang membuat biaya makan di sini sedikit lebih mahal jika dibanding dengan kota – kota yang pernah Travelista sambangi.

Masih sederet dengan Pujasera, terdapat sebuah Klenteng yang namanya Travelista tidak tahu karena tidak ada keterangan dalam aksara latin yang menjelaskan nama klenteng yang merupakan satu – satunya dan terbesar di Tanjung Selor.

Berlanjut ke ujung jalan Soedirman, terdapat kawasan kampung Arab. Menurut sejarah, komunitas Arab di sini adalah keturunan pedagang yang berniaga pada saat kejayaan kesultanan Bulungan di Tanjung Palas, sebuah kota di seberang kota Tanjung Selor yang dipisahkan oleh aliran sungai Kayan.

Masih menyusuri sepanjang aliran sungai Kayan. Kali ini Travelista harus berfoto dulu di landmark kota Tanjung Selor yaitu tugu Cinta Damai yang terletak tepat ujung jalan Sengkawit, di sisi sungai Kayan. 

Dinamakan tugu Cinta Damai karena di kota berstatus kecamatan Tanjung Selor ini terdapat 6 rumah ibadah yang mewakili agama resmi di Indonesia.

Di puncak tugu Cinta Damai terdapat patung burung enggang yang dikeramatkan oleh masyarakat Dayak karena sifat burung ini yang hanya hidup di tempat tinggi, tidak makan di tanah, memiliki suara yang keras, hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya, bertanggung jawab penuh terhadap betina dan anaknya.

Dari sifat – sifat burung enggang inilah muncul filosofi kepemimpanan kepala suku Dayak. Itu sebabnya, burung ini amat dikeramatkan oleh masyarakat Dayak. Dan dengan diletakkan di atas tugu cinta damai, di harapkan sifat sang burung keramat dapat menaungi kedamaian di kota Tanjung Selor ini.

Masih dalam rangka mencari sarapan dan kuliner khas kota ini, perjalanan Travelista lanjutkan ke tugu Telur Pecah yang terletak di tengah perempatan jalan Hamdal, jalan Jelarai, jalan Sengkawit dan jalan Serindit. Sekilas tugu ini biasa saja. Tapi tugu ini merupakan representasi hikayat kesultnanan Bulungan yang pernah berjaya di Nusantara.

Salah satu versi hikayat pecah telur. Dikisahkan pada jaman dahulu kala kapala suku Dayak Kayan bernama Kuwanyi yang gagah perkasa tapi tidak memiliki keturunan. Di tengah keperkasaannya selalu terselip rintihan doa tentang penerus kepemimpinannya di masa yang akan datang.

Kuwanyi seorang yang pandai berburu, tidak ada sehari pun berburu tanpa membawa pulang hasil yang banyak. Namun suatu hari tak seekor buruan pun didapatnya. Kuwanyi pun heran hingga ia memutuskan beristirahat di bawah pohon jemlai dan didapati sebilah bambu dan sebutir telur.

Dengan penuh rasa heran Kuwanyi pun membawa pulang bambu dan telur tersebut ke rumah. Disimpannya bambu dan telur di dapur, hingga di suatu malam saat Kuwanyi dan Istrinya terlelap. 

Terkejut dengan tangisan suara bayi di dapur. Segera Kuwanyi dan Istrinya menuju dapur dan mendapati sepasang bayi laki – laki dan perempuan. Rupanya bambu dan telur menjelma menjadi sepasang keturunan bagi Kuwanyi dan Istri.

Bayi laki - laki diberi nama Jau Iru dan bayi perempuan diberi nama Lamlam Suri. Yang kelak menggantikan kepemimpinan Kuwanyi dan mendirikan Kesultanan Bulungan. Nah, Begitu Sobat Piknik ceritanya…

Hari sudah semakin siang, sarapan khas tak jua Travelista dapatkan. Lebih baik pulang lah. Namun saat mencari jalan pulang, tak sengaja Travelista melintasi pemakaman dengan ciri bangunan yang khas. Niatnya mencari makanan khas, malah dapat kuburan khas. Hehehe…

Berdoa sebelum masuk area pemakaman adalah sebuah keharusan untuk menghormati nilai sakral dari sebuah fase hidup yaitu kematian. 

Hal yang membuat Travelista berhenti di pemakaman umum ini adalah ukiran khas Dayak yang tak pernah Travelista temui selama ini. Walaupun ini adalah pemakaman umum umat Kristen yang notabene berasal dari budaya luar, namun unsur budaya asli tetap dibawa hingga ke liang lahat. #Respect #KitaIndonesia

Setelah keliling kota setengah harian cari sarapan khas. Travelista putuskan untuk beristirahat saja di kantor cabang, sambil makan siang dan menunggu malam minggu datang. 

“Ke mana kita mengisi malam panjang ?” Tanya Travelista kepada Personil cabang. “Kita ke pasar malam saja“ Jawab Personil cabang. “Di mana itu ?” Tanya Travelista lagi. “Di pasar induk yang kemarin kita kunjungi” Jawabnya lagi.

Ok. Kita ke sana, sebab mall di sini hanya seukuran toko waralaba ukuran sedang di Jakarta. Rupanya beginilah pusat keramaian dan hiburan Masyarakat Tanjung Selor. Kalo di Jakarta mah disebut pasar kaget. Tapi inilah menariknya piknik kali ini. Travelista merasa tentram karena jauh dari hiruk pikuk atau kesibukan masyarakat di kota besar yang terkadang menjemukan. #Bahagiaitusederhana.



Komentar

ARTIKEL PALING BANYAK DIBACA

Mengunjungi Etalase Budaya Lampung

Seminggu di kota Bandar Lampung. Diisi kesibukan dengan kerja, kerja dan kerja. Pulang kantor hanya diisi dengan cari kuliner malam ditemani driver ojek online dan nongkrong di tugu Adipura.  Kenapa nongkrong di situ ? Ya, karena kebetulan hotel tempat Travelista menginap ada di sekitar tugu tersebut. Hehehe... Seminggu sudah waktu berlalu, tiket balik ke Jakarta sudah dibooking dengan jadwal penerbangan sore hari. Masih ada sedikit waktu untuk mencari oleh – oleh khas Lampung dan berkunjung ke spot wisata di tengah kota agar tidak terlambat ke bandara.   Yuks, segera bergegas cari oleh - oleh khas. Kalau di Lampung, ya apalagi kalau bukan keripik pisang.  Salah satu sentra penjualan keripik pisang di kota Bandar Lampung terdapat di jalan Pagar Alam Kedaton. Di Sepanjang jalan ini, Sobat Piknik akan dengan mudah menemui kedai penjual keripik pisang yang sudah dibungkus maupun dalam keadaan curah.  Satu hal yang membuat asik belanja di sini adalah Sobat Piknik dapat mencicipi se

Berharap Terik di Citorek

Tak terasa sudah lebih dari setahun touring motor bareng Sobat Kantor berlalu. Kalau touring edisi sebelumnya disepakati PP dalam sehari. Maka touring kali ini disepakati untuk minta izin ke istri dan anak masing – masing agar dipebolehkan tidak pulang ke rumah karena  perjalanan ke Citorek harus dilakukan malam hari  demi menyaksikan fenomena negeri di atas awan saat matahari terbit. Touring dimulai hari jumat sore setelah jam pulang kantor. Check point pertama rumah Sobat Kantor yang ada di daerah Sawangan untuk dijamu makan malam . Setelah perut kenyang dan bersenda gurau hingga Jam 21:00. Maka perjalannya diteruskan menyusuri jalan raya Parung - Ciampea untuk menuju che ck point kedua di rumah Sobat Kantor yang ada di daerah Jasinga. Tepat jam 23:00 Travelista dan Sobat Kantor tiba di check point Jasinga untuk rehat sejenak dan ngemil tengah malam. Setelah mandi dan persiapan lainnya, tepat jam 03:00 dini hari, Travelista dan Sobat Kantor memulai perjalanan menuju Citorek menyusuri

Melihat Miniatur Kalimantan Selatan di Dalam Sebuah Museum

Berkunjung ke museum sebelum melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya adalah hal yang bijak di tengah keterbatasan waktu sambil menunggu penerbangan. Di sela waktu tunggu kali ini Travelista sempatkan untuk mengunjungi museum Lambung Mangkurat yang terletak di jalan Ahmad Yani Kota Banjar Baru. Pertama kali didirikan pada tahun 1907 oleh pemerintahan hindia belanda untuk menyimpan temuan artefak purbakala di Kalimantan Selatan dengan nama museum Borneo namun fungsinya dihentikan saat tentara jepang mulai menduduki Kalimantan Selatan. Borneo museum in Bandjarmasin 1907 koleksi Tropen Museum Pada tanggal 22 Desember 1955 dengan koleksi barang - barang pribadi miliknya. Amir Hasan Kiai Bondan mencoba menghidupkan kembali museum Borneo yang diberi nama museum Kalimantan. Pada tahun 1967 bangunan museum dipugar dan diberi nama museum Banjar hingga dibangun gedung museum baru bergaya rumah Bubungan Tinggi modern yang diberi nama Lambung Mangkurat dan diresmikan kembali oleh Mendikbud D